Kamis, 09 Desember 2010

Sick Building Syndrome




Kuliah tentang Environmental Medicine yang disampaikan oleh Prof.dr. Hari Kusnanto baru – baru ini membuat saya kembali teringat akan pentingnya pengaruh factor lingkungan dalam kesehatan kita. Bagaimana tidak? Sadarkah kita akan paparan (exposure) apa sajakah yang kita dapatkan dari lingkungan sekitar kita?

Sebagian orang boleh saja berargumen bahwa dirinya tidak pernah terpapar zat – zat berbahaya yang ada di lingkungan sekitarnya. Saya beri contoh, katakanlah ada seorang eksekutif muda, setiap harinya dia naik mobil ber AC ke kantor, kantornya bersih, tiap hari ada cleaning service yang selalu membersihkan ruangannya, saat makan siang tiba, dia memilih pulang ke rumah karena istrinya sudah memasakkan makanan untuknya. Dia cukup jarang beli makan di luar, kecuali ketika week end, dia dan keluarga pergi makan malam, itupun di restoran terkenal dan mahal yang sudah tentu higienis. Dia juga selalu tampil rapi dan bersih, selalu mencuci tangan sebelum makan dengan antiseptic. Nah, sekarang pertanyaannya, cukupkah itu semua? Apakah dengan hal – hal di atas dapat menjamin si eksekutif muda terhindar dari paparan zat – zat berbahaya?

Rasanya sangat sulit sekali kalau seseorang dapat terhindar 100% dari paparan zat – zat yang berbahaya yang berasal dari lingkungan. Mengapa? Karena zat – zat tersebut ada di mana – mana. Mungkin benar, si eksekutif muda tersebut telah terhindar dari polusi udara dan juga penyakit infeksi pencernaan seperti tifus atau hepatitis A yang menular melalui makanan yang kotor. Tapi dia tidak bisa lepas dari paparan zat tertentu. Sebut saja dengan apa yang dinamakan dengan Sick Building Syndrome.

Apakah sick building syndrome itu? Sebenarnya, sick building syndrome (SBS) merupakan kumpulan gejala (syndrome) yang umumnya terjadi pada para pekerja kantoran yang banyak menghabiskan waktunya di dalam ruangan tertutup (indoor). Gejala yang dialami dapat bervariasi antara satu orang dengan yang lain. Gejala dalam SBS dapat meliputi : gejala flu (flu like symptoms) iritasi pada mata, hidung, tenggorokan, batuk kering, kulit kering dan gatal, rasa mual, pusing, sulit berkonsentrasi dan juga cepat lelah. Dan satu hal yang cukup khas dari SBS ini, adalah bahwa semua gejala di atas dapat segera berkurang atau bahkan hilang setelah seseorang keluar dari ruangan.

Mengapa SBS dapat terjadi? Sesungguhnya tidak ada penyebab spesifik, karena SBS dapat terjadi sebagai hasil dari kombinasi faktor faktor di dalamnya seperti : kurangnya pencahayaan dalam ruangan, kurangnya perputaran udara, faktor kelembaban udara, belum lagi dari kotoran atau polusi yang terjebak dalam ruangan  yang sebenarnya juga berasal dari para pekerja sendiri yang sering keluar masuk gedung. Bayangkan, ketika dalam satu ruangan tertutup di mana faktor pencahayaan alami (dari sinar matahari) kurang terdapat satu orang yang terkena flu dan batuk, tentu penularannya akan lebih cepat dibandingkan dengan di ruang terbuka yang pencahayaan alaminya baik.

Selain faktor di atas, ada juga faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu kontaminasi dari zat – zat kimia dan biologis. Kontaminasi zat kimia sendiri terbagi atas dua kelompok sebagai berikut :
  • Chemical contaminants from outdoor sources (Kontaminasi Kimia dari luar ruangan)
    • Contoh yang paling mudah adalah pollutant yang berasal dari knalpot kendaraan bermotor. Kebanyakan gedung perkantoran pastilah memiliki area parkir, entah itu basement atau area parkir bertingkat yang masih merupakan bagian dari bangunan tersebut. Asap – asap kendaraan bermotor tersebut dapat masuk melalui celah – celah ventilasi, jendela, dan juga pintu. Sayangnya, setelah masuk, asap ini tetapsaja terjebak di dalam ruangan dan dapat menimbulkan polusi di dalam ruangan.
  • Chemical Contaminants from Indoor Sources (Kontaminasi Kimia dari Dalam Ruangan)
    • Kebanyakan polusi di dalam ruangan ini bersumber dari benda – benda yang ada di dalam gedung, mulai dari karpet, lem perekat wallpaper ruangan, mesin fotokpi, meja kursi atau lemari yang berasal dari kayu yang dipelitur, cat – cat dinding, asap dalam ruangan akibat penggunaan kompor, asap rokok, dan bahkan juga zat yang terdapat dalam pembersih ruangan (cleaning agents) yang mengandung Volatile Organic Compound yaitu zat – zat yang mudah menguap, termasuk di dalamnya formaldehyde.
Sedangkan untuk  kontaminasi biologis, dapat berasal dari bakteri, virus dan juga jamur. Mikrorrganisme ini dapat berkembang biak di air yang tidak mengalir, di tempat yang lembab, kurang pencahayaan dan kemudian terakumulasi di dalam karpet, saluran ventilasi, di sela – sela lantai dan juga langit – langit ruangan.


Bagaimana mengatasinya? Tentu saja tidaklah mudah dan tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Upaya – upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi SBS ini antara lain:
  • Menilai dan memperbaiki desain bangunan. Sebuah bangunan yang baik, haruslah memenuhi standard minimum HVAC, yang terdiri dari tiga komponen berupa heating (masalah temperature ruangan) , ventilating (ventilasi dan perputaran udara) , dan air conditioning (penggunaan pendingin ruangan). Selain itu memperbanyak ruang terbuka di area bangunan juga dapat menjadi solusi yang baik.
  • Menghilangkan atau memodifikasi sumber polusi. Hal ini dapat dilakukan dengan melarang para pekerja kantor untuk merokok di dalam ruangan atau dengan menyediakan ruangan khusus yang berventilasi untuk area merokok. Termasuk di dalamnya menggunakan pembersih udara yang dapat menyaring udara kotor menjadi udara bersih
  • Edukasi dan komunikasi. Hal ini merupakan hal yang paling penting yang perlu dimiliki oleh para pekerja kantoran. Ketika seseorang melihat ada yang tidak beres dengan ruangannya, misalnya atap yang bocor, atau pipa ventilasi yang bocor,maka seseorang ini wajib untuk segera melaporkan ke bagian Rumah Tangga, untuk segera ditindaklanjuti. Para pekerja juga dapat diedukasi dengan cara memanfaatkan waktu istirahat sebaik mungkin dengan keluar dari ruangan, sekedar berjalan – jalan atau menghirup udara di luar.
Walau bagaimanapun, memang tidaklah mudah untuk terhindar dari efek Sick Building Syndrome ini, namun setidaknya kita harus mencoba untuk mengurangi penyebab dan efek SBS ini dengan lebih peduli pada lingkungan di sekitar kita. 


Sumber

  • Lecture notes Environmental Medicine. Prof. dr. Hari Kusnanto.
  • Sick Building Syndrome. National Safety Council
  • Sick Building Syndrome. The Environmental Illness Resource. http://www.ei-resource.org/illness-information/related-conditions/sick-building-syndrome-(sbs)/

Rabu, 08 Desember 2010

Travelling?Jangan asal berangkat!


Siapa yang pernah bepergian? Hampir semua orang tentunya pernah bepergian, ada yang bepergian di dalam kota, luar kota, luar pulau, bahkan ke luar negri. Ya, bepergian atau travelling merupakan hal yang menarik, apalagi bila bepergian tersebut dalam rangka tujuan wisata, ke luar negri pula, tentunya akan menjadi sangat menyenangkan.

Menurut sebuah survey berdasarkan WHO, dikatakan bahwa pada tahun 2007 lalu ada 903 juta orang yang bepergian ke luar dari negaranya masing – masing. Untuk sarana transportasinya, 47 % memilih menggunakan pesawat udara (air transport), sedangkan sisanya lebih memilih menggunakan surface transport  seperti jalan darat, kereta api, dan juga dengan menggunakan kapal. Motivasinya pun berbeda – beda, 51% travellers melakukan perjalanan dalam rangka berekreasi dan berlibur, 15% lainnya dalam rangka urusan bisnis, sedangkan sisanya (27%) tergolong dalam tujuan lain (other purposes) seperti perjalanan haji atau perjalanan rohani, berkunjung ke tempat saudara atau kerabat, dan melakukan pengobatan.

Saking menarik dan menyenangkannya, seseorang yang hendak bepergian ke luar negri pastilah sibuk mempersiapkan barang – barang bawaan seperti baju – baju, kamera, dokumen perjalanan, uang / traveller’s check,  tiket, dan juga mencari informasi tentang daerah tujuan mengenai hotel dan transportasi misalnya. Apakah hal tersebut salah? Tentu saja tidak. Akan tetapi, kebanyakan orang justru lupa untuk mencari tahu tentang informasi penyakit  dan kesehatan saat bepergian.

Sebenarnya, ketika mencari bahan referensi untuk posting ini melalui web WHO (World Health Organization) dan juga CDC (Center for Disease Control and Prevention), saya lebih banyak menemukan bagian yang menggaris bawahi travelling dari negara maju (developed countries) ke negara berkembang (developing countries).

Ya, kedua institusi kesehatan internasional tersebut lebih banyak menyorot soal penyakit menular yang banyak terjadi di negara berkembang, sehingga mungkin saja didapat oleh para travellers dari negara maju yang berwisata ke negara berkembang. Berbagai macam penyakit tersebut antara lain: hepatitis A, demam tifus, malaria, demam berdarah, bakteri meningococcal yang menyerang selaput pembungkus otak (meninges) dan masih banyak lagi penyakit lainnya.

Untuk mengantisipasinya, pertama – tama kita perlu tahu, mengenai metode penularan penyakit tersebut. Berikut akan saya paparkan beberapa contoh mengenai penyakit yang sering terjadi dalam travelling medicine dan cara penularan dan penyebarannya dengan melalui:

  • makanan dan air       : diare, hepatitis A, tifus, kolera
  • vektor                        : malaria, demam berdarah, chikungunya
  • binatang                    : rabies, leptospirosis (kencing tikus)
  • darah                         : hepatitis B dan C, HIV AIDS
  • udara                         : SARS, Tuberkulosis, cacar air, campak
  • tanah                         : anthrax, tetanus, penyakit cacingan (ascariasis)
  • hubungan seksual    : HIV/AIDS, hepatitis B, raja singa, sifilis

Selanjutnya, anda juga perlu mencari tahu akan adanya vaksin yang dapat mencegah penyakit tersebut atau tidak; mengingat tidak semua penyakit dapat dicegah melalui vaksinasi. Sebut saja penyakit yang menular melalui hubungan seksual seperti HIV/AIDS. Tidak ada vaksin untuk penyakit ini, begitu juga dengan penyakit dengan vektor tertentu seperti demam berdarah/ dengue fever yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes aegepty.

Lalu, muncullah pertanyaan baru, bagaimana dengan penyakit yang tidak ada vaksinnya?  Jalan untuk mencegah terkena penyakit ini adalah dengan memperhatikan bagaimana metode penularan atau penyebarannya, misalnya saja dengan menjaga kebersihan makanan dan minuman kita, rajin mencuci tangan, mengoleskan obat anti nyamuk apabila hendak bepergian ke dalam hutan untuk outbond atau hiking misalnya, dan juga dengan menggunakan masker pelindung.

Akan tetapi, perlu kita ketahui pula, bahwa penyakit tidak hanya datang dari luar. Ada pula kondisi tertentu yang membuat seorang travellers menjadi rawan sakit saat bepergian. Misalnya saja bagi kelompok orang dengan usia extreme,sangat tua atau sangat muda; bagi ibu yang sedang hamil; atau orang – orang yang memiliki riwayat penyakit tertentu yang sudah ada  sejak sebelum bepergian seperti penyakit jantung, hepatitis, gangguan pernapasan, darah tinggi, diabetes dan juga penyakit kronis lainnya.

Selain itu, terdapat pula berbagai macam faktor yang mempengaruhi resiko sakit saat bepergian seperti negara tujuan,  durasi dan musim saat bepergian, tujuan perjalanan, standar akomodasi dan kebersihan makanan di daerah tujuan, dan juga dari kebiasaan dan perilaku traveller sendiri.Sebagai contoh, seorang jemaah haji yang hendak beribadah di tanah suci, mungkin akan menghadapi beberapa penyesuaian terhadap siklus tidur (akibat jet lag setelah menempuh perjalanan jauh dan melintasi beberapa zona waktu), panas dan dinginnya iklim gurun, dan juga tinggal dalam lingkungan yang padat dengan orang – orang sesama jamaah haji sehingga rawan tertular penyakit infeksi seperti meningitis (radang selaput otak), sehingga sebelum keberangkatan para jamaah haji perlu melakukan pengecekan kesehatan dan juga vaksinasi.

Untuk itu, sebelum bepergian, sebaiknya kita mulai memeriksakan kesehatan kita terlebih dahulu, dengan berkonsultasi ke dokter,  dengan demikian kita dapat mengetahui hal – hal apa yang perlu kita persiapkan. Jangan lupa siapkan pula obat – obatan yang sering digunakan.

Kesehatan dalam travel medicine sesungguhnya menjadi tanggung jawab bersama. Tanggung jawab antara travellers, penyedia pelayanan kesehatan, dan juga biro atau agen perjalanan.  Akan tetapi kunci yang paling penting ada di tangan travellers sendiri. Jadi?  Jangan ambil resiko, bepergianlah dengan aman, nyaman, dan sehat. :) 

Sumber:

Minggu, 05 Desember 2010

Berbagai Sisi Kompetensi Dokter



Kompetensi?  Mungkin istilah ini sudah tidak asing lagi bagi anda. Istilah kompetensi memang cukup populer dalam dunia pendidikan. Bahkan, definisi mengenai kompetensi  juga tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 045/U/2002 yang mendefinisikan kompetensi sebagai berikut:

'seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan 
tugas- tugas di bidang pekerjaan tertentu'

Secara tidak langsung, kompetensi juga menjadi  bentuk standarisasi dari kemampuan seseorang terhadap kemampuan orang lain. Seseorang diharapkan dapat mencapai atau memenuhi suatu tingkatan kompetensi tertentu sebagai suatu bentuk atas tolak ukur kemampuannya. Ini berarti pula bahwa kompetensi menjadi semacam cut off poin untuk menetapkan poin – poin apakah yang perlu dikuasai .

Bagaimana dengan kompetensi dokter di Indonesia? Kompetensi dokter di Indonesia sendiri telah distandarisasikan secara nasional pada tahun 1982 melalui Kurikulum Inti Pendidikan Dokter Indonesia (KIPDI) yang diperbarui setiap 10 tahun. Pada KIPDI I tahun 1982 dan juga KIPDI II tahun 1994 yang dititikberatkan dalam kompetensi dokter hanyalah penguasaan disiplin ilmu sehingga gambaran dokter yang dihasikan belum terinci secara eksplisit. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu format baru berupa Standar Kompetensi Dokter yang dapat mencakup area yang lebih luas, selain hanya mengandalkan penguasaan atas disiplin ilmu semata.

Standar kompetensi seorang dokter terdiri dari tujuh area kompetensi yang diturunkan dari gambaran tugas, peran, dan fungsi seorang dokter dalam Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) strata pertama yang secara sistematis dapat dilihat melalui bagan berikut:


Sedangkan tujuh area kompetensi dokter tersebut meliputi :
  • Area komunikasi efektif; mampu menggali dan bertukar informasi secara verbal dan nonverbal dengan pasien semua usia, anggota keluarga, masyarakat, kolega, dan profesi lain.
  • Area keterampilan klinis; melakukan prosedur klinis dalam menghadapi masalah kedokteran sesuai dengan kebutuhan pasien dan kewenangannya. 
  • Area landasan ilmiah ilmu kedokteran; mengidentifikasi, menjelaskan, dan merancang penyelesaian masalah kesehatan secara ilmiah menurut ilmu kedokteran-kesehatan mutakhir untuk mendapat hasil yang optimum
  • Area pengelolaan masalah kesehatan : mengelola masalah kesehatan individu, keluarga, maupun masyarakat secara komprehensif, holistik, bersinambung, koordinatif, dan kolaboratif dalam konteks pelayanan kesehatan primer.
  • Area pengelolaan informasi : mengakses, mengelola, menilai secara kritis kesahihan dan kemamputerapan informasi untuk menjelaskan dan menyelesaikan masalah, atau mengambil keputusan dalam kaitan dengan pelayanan kesehatan di tingkat primer.
  • Area mawas diri dan pengembangan diri : melakukan praktik kedokteran dengan penuh kesadaran atas kemampuan dan keterbatasannya; mengatasi masalah emosional, personal, kesehatan, dan kesejahteraan yang dapat mempengaruhi kemampuan profesinya; belajar sepanjang hayat; merencanakan, menerapkan, dan memantau perkembangan profesi secara sinambung.
  • Area etika, moral, medikolegal dan profesionalisme serta keselamatan pasien : berprilaku profesional dalam praktik kedokteran serta mendukung kebijakan kesehatan; bermoral dan beretika serta memahami isu etik maupun aspek medikolegal dalam praktik kedokteran; menerapkan program keselamatan pasien.
Kompetensi  juga  dituliskan dalam bentuk level tertentu. Untuk level kompetensi dokter di Indonesia memiliki range antara 1 sampai dengan 4. Secara sederhana, dapat kita katakan bahwa tingkat kemampuan 1 hanya mengharuskan seorang dokter untuk hanya sekedar tahu dan memahami suatu penyakit tertentu melalui tanda dan gejalanya (overview level) sedangkan pada kompetensi tingkat 4 sang dokter harus mampu menangani problem pasien secara mandiri hingga tuntas mulai dari pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, menyimpulkan suatu diagnosis hingga melakukan terapi. 

Sebagai contoh, berikut ini saya kutipkan sebuah tabel mengenai level kompetensi dokter umum dalam menangani penyakit seputar sistem pernapasan sebagai berikut:

 Pada tabel di atas, dapat kita lihat, bahwa tingkat penguasan seorang dokter umum memiliki level tersendiri, misalnya, seorang dokter umum harus mampu menangani kasus seperti:  tuberculosis (TBC) secara mandiri (level 4), tetapi ketika penyakit TBC tersebut bersamaan dengan pneumothorax (adanya udara berlebih dalam pleura/ selaput pembungkus paru) level kompetensinya berkurang menjadi level 2 yang hanya sebatas mendiagnosis dan harus segera melakukan rujukan kepada dokter spesialis yang memiliki kompetensi sesuai, dalam hal ini spesialis paru.

Walaupun sudah diciptakan suatu standar kompetensi, namun terkadang masih saja timbul masalah terkait dengan standar kompetensi dokter. Sebagai contoh, pertanyaan mulai muncul untuk dokter – dokter yang dikirim ke daerah terpencil yang minim akan sarana dan prasarana kesehatan, kita pakai contoh kasus di atas (TBC dengan pneumothorax) , kalau bertindak sesuai kompetensi saja, maka dokter hanya perlu merujuk ke spesialis paru, padahal, bayangkan saja, misalnya kondisi pasien berada di pedalaman daerah Kalimantan, di mana perlu berhari – hari untuk dapat sampai ke kota dan kesulitan transportasi yang menyertai, kalau si dokter umum yang bertugas tidak segera mengambil tindakan sendiri yang melebihi batas kompetensinya, tentu saja pasien tidak akan selamat. 

Kadang pula, kondisi yang terjadi berkebalikan, terkadang dokter umum  yang memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan pada tingkat yang lebih tinggi, malah mencoba untuk bertindak lebih dari level kompetensinya. Apa akibatnya? Hal ini menciptakan adanya suatu benturan dengan tingkat kompetensi dokter spesialis.

Belajar dari pengalaman tersebut, saya secara pribadi menilai, bahwa Standar Kompetensi Dokter Indonesia, tentu diciptakan baik adanya,namun dalam penggunaanya, jangan hanya kita telan secara mentah – mentah. Kita wajib menyesuaikan diri dengan keadaan. Menguasai lebih dari area kompentensi kita, memang lebih baik, namun perlu juga disesuaikan dengan kebutuhan. Jangan sampai menimbulkan masalah karena harus overlapping dengan kemampuan dokter spesialis.

Sumber:
  • Standar Kompetensi Dokter Konsil Kedokteran Indonesia. 2006. http://inamc.or.id/?open=pedoman
  • Tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Sisi Lain Kedokteran Universiatas Hasanuddin. http://sisilainkedokteranunhas.blogspot.com/2009/10/tentang-standar-kompetensi-dokter.html

Jumat, 03 Desember 2010

Globalisasi Kesehatan dalam Perspektif AFTA


Istilah era globalisasi mungkin sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Ya, istilah ini semakin sering digembor – gemborkan orang semenjak memasuki abad 21 ini. Era globalisasi ini mempengaruhi banyak sektor, termasuk di dalamnya sektor kesehatan. Ada beberapa contoh mengenai dampak globalisasi pada sektor kesehatan, seperti:

  • Meningkatnya mobilitas profesional kesehatan dari suatu negara ke suatu negara lain
  • Meningkatanya mobilitas konsumen kesehatan (pasien) yang pergi ke luar negri untuk mendapatkan perawatan medis
  • Meningkatnya perusahaan asing dan perusahaan asuransi asing di dalam negri

Fenomena ini juga terjadi di Indonesia. Salah satu faktor pemicu globalisasi kesehatan di Indonesia adalah dengan adanya AFTA 2010.  Apa itu AFTA?  AFTA merupakan singkatan dari ASEAN Free Trade Area yang dibuat pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke IV di Singapura pada tahun 1992. Tujuan dibuatnya AFTA, tentu saja baik adanya, bagaimana tidak, negara – negara di kawasan Asia Tenggara telah bersepakat untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional Asia Tenggara sekaligus menjadikan Asia Tenggara menjadi salah satu pihak yang berpengaruh pada perdagangan dunia.

Kemudian muncul kembali pertanyaan baru. Apa hubungan AFTA dengan kesehatan? Bukankah istilah perdagangan hanya identik dengan dunia ekonomi saja? Ternyata tidak, AFTA pada kenyataannya tidak hanya mengedepankan satu aspek saja, setidaknya ada lebih dari 12 sektor yang disentuh AFTA, termasuk sektor kesehatan.



Praktek AFTA sendiri sebenarnya sudah dimulai pada tahun 2003 untuk 6 negara pendiri ASEAN (Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Brunnei Darussalam) sedangkan pada tahun 2010 AFTA mulai berlaku pula pada negara – negara lain yang tergabung dalam ASEAN seperti Kamboja, Laos, Myannmar, dan Vietnam.

Kembali kita dihadapkan pada fakta, bahwa banyak masyarakat Indonesia yang memilih berobat ke luar negri. Sebut saja Singapura. Bahkan saya cukup terkejut ketika salah seorang dosen saya bercerita bahwa lebih dari 50% pasien dari salah satu rumah sakit di Singapura adalah orang Indonesia. Bahkan, saya juga sempat terkejut ketika menemukan sebuah brosur General Medical Check Up berkonsep wisata yang ditawarkan salah satu biro perjalanan ke Singapura. Belum lagi maraknya rumah sakit asing atau praktek pelayanan kesehatan asing yang menjamur di negri kita. Kalau boleh berdasar pada fakta – fakta tersebut, dari aspek kesehatan, benarkah AFTA merugikan negara kita?

 Tentu saja, dalam menanggapinya kita perlu bersikap bijaksana. Kita tidak boleh semata – mata menyalahkan AFTA. Seperti yang kita ketahui, peranan AFTA meluas di berbagai sektor kehidupan. Sektor kesehatan hanya salah satu sektor dari 12 sektor yang dijamah AFTA. Sudah semestinya kalau kita menanggapi AFTA ini dengan positif, sebagai sebuah tantangan baru yang mengajak dunia kesehatan Indonesia untuk giat berkompetisi menuju ke arah perkembangan yang lebih baik.


Tindakan kompetisi tersebut, dapat dimulai dari sumber daya tenaga kesehatan terlebih dahulu, atau dengan kata lain, mulailah dengan kualitas manusianya. Salah satu usaha untuk menciptakan sumber daya yang berkualitas adalah dengan memenuhi standar kompetensi minimum internasional seperti yang telah ditetapkan oleh The Institue for International Medical Education (IIME) yang meliputi tujuh butir aspek standar kompetensi minimum yang disebut sebagai Global Minimum Essential Requirements (GMER) yang meliputi:
  •         professional values, attitudes, behavior and ethics (nilai profesional, perilaku, kepribadian dan etika)
  •        scientific foundation of medicine ( pondasi medis yang scientific)
  •         clinical skills (ketrampilan medis)
  •         communication skills (ketrampilan komunikasi)
  •          population health and health systems (populasi kesehatan dan sistem kesehatan)
  •         management of information (manajemen informasi)
  •          critical thinking and research. (berpikir kritis dan penelitian)

Apabila kita perhatikan secara keseluruhan, ternyata GMER ini menuntut kompetensi yang tidak hanya mencakup segi keilmuan yang kuat, namun juga terkait dengan penguasaan soft skill (komunikasi,  profesionalitas, perilaku, dan etika) yang mumpuni (mahir). Kalau kita melihat GMER ini, nampaknya yang menjadi solusi penting untuk mencapai ketujuh butir kompetensi minimal di atas adalah dengan mengembangkan sumber daya tenaga kesehatan melalui sistem pendidikan yang baik. Melalui sistem pendidikan yang mencakup aspek – aspek di atas, setiap tenaga kesehatan mulai disiapkan untuk berkompetisi di masa mendatang. Mungkin bukan hasil instan yang didapat, tapi paling tidak, bangsa ini sudah menabung bibit – bibit untuk berkompetensi di kemudian hari.

Selain memperbaiki kualitas sumber daya manusianya, perlu juga diperbaiki kualitas sistemnya, seperti sistem Rumah Sakit misalnya, terdapat pergeseran mengenai konsep dan kebijakan rumah sakit pada fase pra globalisasi dan di era globalisasi sebagai berikut:

Pra Globalisasi
Era Globalisasi
  • RS adalah Lembaga Sosial
  • Anggaran dari Pemerintah
  • Pembayaran Langsung
  • Sistem Pembayaran fee for service
  • Upaya lebih ditekankan pada kuratif dan rehabilitatif
  • Terpisah dari sistem pelayanan medik wilayah Dati II
  • Kebijakan standar untuk semua RS
  • Manajemen mutu bukan inti kegiatan
  • Berorientasi pada dokter
  • RS adalah industri jasa
  • Anggaran dari masyarakat
  • Pembayaran dari masyarakat
  • Sistem pembayaran kapitasi
  • Upaya paripurna dari promotif sampai dengan rehabilitatif
  • Merupakan bagiaan dari sistem pelayanan medik Dati II
  • Kebijakan standar berbeda untuk urban dan rural
  • Manajemen mutu menjadi inti kegiatan rumah sakit
  • Berorientasi pada konsumen


Dengan adanya reorientasi tersebut, diharapkan bahwa terdapat pula pergeseran mekanisme pasar yang berujung pada berkurangnya angka pengobatan atau rujukan ke luar negeri serta pengembangan dunia kedokteran dalam negeri yang memungkinkan untuk Go International.


Selain itu, masih ada juga upaya yang dapat dilakukan untuk membatasi masuknya tenaga kesehatan asing yang melakukan praktek kesehatan di Indonesia, salah satunya melalui undang – undang.  Seperti yang dikatakan oleh dr. Kartono Mohammad , mantan ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki wewenang untuk membatasi masuknya dokter asing ke Indonesia, beliau mengatakan bahwa yang penting adalah membuat aturan tapi jangan terlalu kelihatan protektif, karena Indonesia akan dituduh melanggar AFTA. Aturan tersebut diekspresikan dalam undang – undang, sejauh ini, menurut UU no. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, dokter asing memang dibolehkan untuk membuka praktik di wilayah Indonesia. Namun peraturan pemerintah yang mengatur tentang  penyelewengan, penyalahgunaan, serta tindak pidananya belum ada.

Jadi apa kesimpulannya? Untuk menghadapai globalisasi kesehatan dalam konteks AFTA,  yang perlu kita persiapkan adalah kesiapan untuk berkompetisi. Untuk berkompetisi dibutuhkan kemampuan yang bersaing, yang mencakup berbagai aspek dalam dunia kesehatan seperti sistem, kebijakan kesehatan termasuk peraturan dan perundang - undangan, pendidikan kesehatan, dan yang jauh lebih penting adalah pembinaan sumber daya manusianya. 


Mari berkompetisi bersama, think global act local !  =)

Sumber:


Rabu, 01 Desember 2010

Menumpuk Logistik Bencana


Masih soal bencana. Ada hal yang cukup identik dengan bencana, yaitu bantuan. Ketika bencana terjadi, banyak pihak yang terketuk pintu hatinya untuk mengulurkan bantuan, baik dalam bentuk uang, barang maupun tenaga. Di satu sisi, hal tersebut tentunya merupakan cerminan rasa  kemanusiaan yang luar biasa, namun di sisi lain, apabila bantuan ini tidak terkoordinasi dengan baik, justru akan menimbulkan masalah baru.

Masalah baru yang bagaimana? Sebut saja bencana tsunami di Aceh beberapa tahun silam, banyak pihak baik dari dalam dan luar negeri mengirimkan bantuan obat- obatan. Bantuan tersebut terlalu banyak dan sayangnya menumpuk, sehingga menjadi mubadzir begitu saja karena keburu kadaluarsa. Apa akibatnya? Pemerintah harus mengeluarkan sejumlah dana yang katanya sampai ratusan juta lebih untuk memusnahkan obat – obatan yang telah kadaluarsa tersebut, sebagaimana yang disampaikan oleh dosen saya, dr. Sulanto Saleh Danu, Sp. FK., dalam kuliah tentang Logistic Management Support.Untuk itu, dibutuhkan suatu bentuk pengolahan bantuan bencana yang baik, tepat guna, dan tepat sasaran.

Istilah logistik sendiri sebenarnya berasal dari istilah militer yang berarti sebuah sistem yang memiliki bagian yang saling berinteraksi dengan efektif satu sama lain untuk memaksimalkan/ mengoptimalisasikan penggunaan sumber daya yang meliputi pengadaan material, pemeliharaan, transportasi material, fasilitas, serta personel. Dalam dunia medis, khusunya dalam konteks emergensi, logistik sangat dibutuhkan dalam reaksi respon bencana, baik dalam tahapan tanggap darurat maupun recovery/ rehabilitasi.

Menurut Pan American World Organization, salah satu cabang regional dari WHO di Amerika, logistik diklasifikan sebagai berikut:
  •          Medicines (Obat – obatan)
  •          Health Supplies/ kit (Peralatan kesehatan)
  •          Water and Environmental Health (kesehatan air dan lingkungan)
  •          Food (makanan)
  •          Logistic administration (administrasi logistik, pencatatan)
  •          Shelter – electrical –construction (tempat tinggal sementara– listrik – bangunan)
  •          Personal needs / edukasi (kebutuhan personal dan edukasi personal)
  •          Human resources (sumber daya manusia)
  •          Agriculture/ livestock (stok pangan)
  •          Unclassified/ others ( lainnya)


Sedangkan yang tergolong dalam logistik medis adalah poin pertama dan kedua yaitu obat – obatan dan peralatan kesehatan.


Pada posting ini, saya ingin lebih jauh membahas mengenai logistik medis, walaupun terlihat hanya terdiri dari dua poin saja, namun ternyata logistik medis ini sangat kompleks dan rumit. Karena banyak faktor yang menpengaruhi penyediaan logistik medis ini, seperti:
  •         Tipe bencana

o   Setiap bencana memiliki karakteristik yang berbeda – beda, misalnya, bencana gempa di Bantul pada tahun 2006, mayoritas korban mengalami patah tulang karena tertimpa bangunan yang roboh, sedangkan pada bencana erupsi merapi, para korban kebanyakan mengalami luka bakar dan juga infeksi pernapasan akut akibat menghirup debu vulkanik yang terlalu banyak. Tipe bencana ini sangat mempengaruhi peralatan dan obat – obatan apa yang nantinya akan dibawa
  •          Jumlah korban/ pengungsi/ populasi

o   Tim yang akan memberikan bantuan juga harus memperhitungkan mengenai jumlah bantuan. Sebagai contoh, cukupkah kalau kita hanya membawa 100 botol infus untuk logistik di tempat pengungsian selama 10 hari dengan jumlah pengungsi sakit 200 orang dan setiap harinya membutuhkan 3 sampai 4 botol infus?
  •          Periode bencana

o   Yang dimaksud periode di sini adalah periode pra bencana, tanggap darurat, dan paska bencana. Setiap fase bencana memiliki kebutuhan yang berbeda – beda pula. Sebagai contoh, saat terjadi bencana gempa Bantul, kebutuhan obat anti tetanus meningkat pesat untuk mencegah terjadinya infeksi pada luka terbuka, namun dua atau tiga bulan setelah bencana, obat anti tetanus ini tidak lagi diperlukan.

Mempersiapkan logistik identik pula dengan berhitung dan menimbang – nimbang. Kita harus dapat memperkirakan setepat mungkin mengenai obat – obatan dan alat medis apa yang akan digunakan, termasuk jumlahnya, sehingga jangan sampai terjadi kelebihan maupun kekurangan yang terlalu significant.

Lebih dari itu, kemampuan untuk berkoordinasi dengan pihak – pihak lain juga wajib hukumnya. Bayangkan saja, apabila seandainya bencana merapi yang melanda  4 kabupaten (Magelang, Klaten, Boyolali, dan Sleman) di Jateng dan DIY itu menerima bantuan dari dinas kesehatan seluruh Indonesia pada waktu yang bersamaan, bagaimana jadinya?

Oleh karena itu, dibutuhkan langkah – langkah untuk dalam manajemen logistik sebagai berikut:

  • Perencanaan dan seleksi
    • Setiap tindakan perlu didahului dengan adanya perancanaan. Setelah didapat informasi tipe, periode, serta jumlah korban/ pengungsi perlu dilakukan perencanaan lebih lanjut mengenai obat – obatan atau alat medis apa yang penting dibawa. Tidak semua alat dan obat dibawa, perlu dilakukan seleksi yang tepat.
  • Pengadaan dan penyediaan
    • Setelah diketahui jumlah perkiraan obat dan peralatan medis, selanjutnya dipikirkan mengenai sumber pengadaan dan penyediaan alat – alat tersebut. Apakah berasal dari pemerintah, LSM, donatur, ataukah ketiganya.
  • Penerimaan, Penyimpanan, dan Pendistribusian
    • Untuk ketiga proses dalam langkah ini, dibutuhkan unsur – unsur operasional lain seperti gudang untuk menyimpan logistik, kemudian juga transportasi yang cukup untuk pendistribusian ke tempat bencana. Perlu dipikirkan pula mengenai waktu perjalanan ke tempat bencana dari gudang penyimpanan, jangan sampai bantuan yang hendak dikirimkan justru datang terlambat.
  • Penggunaan, Pencatatan, dan Pelaporan
    • Ketika bantuan telah sampai, harus diawasi bagaimana penggunaanya. Harus ada pula tenaga medis yang mampu menggunakan bantuan tersebut secara optimal.  Selain itu diperlukan pula adanya pencatatan dan pelaporan, hal ini digunakan untuk menentukan ordering point atau titik pemesanan, yang apabila stok obat dan alat kesehatan telah habis atau tidak memadai, perlu adanya pelaporan untuk mendatangkan stok yang baru.
Keempat langkah di atas berjalan seperti siklus, ketika diperlukan untuk mengadakan stok tambahan, maka pihak yang terkait kembali melakukan perancanaan dan seleksi kembali, begitu seterusnya.

Saya kembali teringat akan cerita dari seorang kerabat yang menjadi relawan. Beliau sempat merasa kecewa dengan bantuan yang diberikan secara sukarela oleh masyarakat. Bantuan sukarela tersebut berupa pakaian bekas, namun sayangnya bukan pakaian bekas yang pantas pakai, namun lebih pantas disebut sebagai pakaian buangan. Yang membuat sedih, pakaian ‘buangan’ yang sudah tidak pantas pakai itu banyak jumlahnya, sehingga para relawan sendiri pun kebingungan bagaimana harus menyimpannya.


Ternyata, masalah yang dialami oleh kerabat saya itu masih sering terjadi, tidak hanya dalam bentuk pakaian, terkadang makanan dan obat – obatan yang disumbangkanpun akhirnya menjadi kadaluarsa dan tidak terpakai.

Oleh karena itu, Humanitarian Supply Management System (SUMA), mengklasifikasikan barang – barang bantuan logistik tersebut berdasarkan prioritasnya sebagai berikut:

  • Urgent – For Immediate Distribution
    • Logistik ini perlu segera didistribusikan ke lokasi bencana, biasanya barang dalam klasifikasi ini diberi label berwarna merah.
  • Non Urgent Distribution
    • Logistik ini tidak harus didistribusikan dengan segera, tapi mungkin dapat bergunan nanti pada fase yang lain seperti pada fase recovery atau rekonstruksi. Biasanya dilabel dengan warna biru
  • Non Priority Articles
    • Merupakan supply logistik yang telah kadaluarsa atau rusak dan tidak dapat digunakan lagi. Barang barang seperti ini dilabel dengan warna hitam.
Ternyata, adanya bantuan yang banyak tapi tidak tepat guna justru menimbulkan masalah baru. Oleh karena itu, proses pengadaan logistik ini perlu perencanaan dan koordinasi yang tepat dari pihak – pihak terkait. Mungkin, sumbangan berupa uang lebih baik daripada barang, asalkan dikelola dengan benar oleh pihak – pihak yang bertanggung jawab.

Sumber:
  • Lecture notes Logistic Management Support. dr. Sulanto Saleh Danu Sp.FK
  • Pan American Health Organization (PAHO) 2001: Humanitarian Suppply Management and Logistic in the Health Sector, PAHO – WHO
  • Humanitarian supply management system. http://www.disaster-info.net/SUMA/english/WhatisSUMA.htm