Selasa, 31 Mei 2011

Vaksin untuk HIV/AIDS, mungkinkah ???!



Seingat saya, sewaktu saya masih kecil, katakanlah saat saya duduk di sekolah dasar, ada iklan masyarakat yang ditayangkan baik di media cetak, elektronik, maupun di baliho – baliho jalan protokol yang menyampaikan bahwa HIV/AIDS tidak ada obatnya. Pada waktu itu saya hanya bisa bertanya tanya sambil lalu, seperti apakah virus yang mematikan itu? Tapi yang namanya anak kecil, detik ini bertanya serius, detik berikutnya lupa dan tidak ingin tahu apa jawabnya.

Bulan Desember tahun lalu, saya pernah menulis posting tentang HIV/AIDS, bertepatan dengan hari AIDS sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Desember setiap tahunnya. Bagi anda yang masih bertanya – tanya mengenai HIV/AIDS, saya persilahkan untuk membuka posting saya tersebut (dalam folder bulan Desember 2010). Bukannya tidak mau menjelaskan kembali, tapi pada posting ini saya bermaksud untuk lebih memfokuskan pada vaksinasi HIV/AIDS.

Pertama- tama, saya jelaskan terlebih dahulu tentang kapasitas saya. Saya hanyalah seorang mahasiswa kedokteran, Pada saat ini saya masih 'berlibur' dalam penantian saya untuk mulai ko ass 27 juni mendatang.. Dalam kapasitas saya yang serba terbatas ini, saya hanya ingin menyampaikan apa yang saya dengar dari seorang Professor kebanggaan Fakultas Kedokteran UGM, Prof. dr. Marsetyawan, Heparis Nur Ekandaru, M.Sc., P.Hd. beliau merupakan kepala bagian Histologi dan Biologi Molekular di FK UGM. 


Beliau menyampaikan berita tentang vaksinasi AIDS yang masih dalam tahap penelitian tersebut pada sebuah Scientific Meeting senilai 8 SKP akreditasi IDI berjudul: Understanding A toZ of Pregnancy with HIV/AIDS Management : Save Indonesian Children yang diadakan di Graha Saba Pramana UGM tgl 27 Mei lalu. Pada saat itu saya benar – benar kaget, dalam tiga setengah tahun terakhir ini, sejauh saya belajar tentang kedokteran, baru satu kali saya mendengar adanya vaksin tersebut. Sayangnya, beliau tidak terlalu detail dalam memberi penjelasan, karena memang topik utama dalam seminar tersebut bukanlah mengenai vaksin HIV/AIDS.

Terdorong atas rasa penasaran tersebut, saya mencari jurnal elektronik sehubungan dengan vaksin tersebut, dan betapa saya kembali terheran karena pada tahun 2006 awal, American Society of Hematology telah merelease sebuah jurnal berjudul : “Impact of vaccine – induced Mucosal High Avidity CD8+ CTLs in delay of AIDS viral dissemination from mucosa”. Luar biasa. Saya langsung malu pada diri saya sendiri, berita yang sesungguhnya sudah dikumandangkan sejak tahun 2006 lalu baru saja saya ketahui sekarang (ketahuan deh sisi kemahasiswaan saya.. hehe).

Melalui posting ini, saya bermaksud untuk menjelaskan kepada anda bagaimana vaksin ini bekerja serta ide- ide apakah yang mendasari dikembangkannya vaksin ini dengan bahasa sederhana yang relatif lebih mudah untuk dipahami.



Tersebutlah sebuah port of entry atau pintu masuk dari virus HIV berupa lapisan mukosa. Lapisan mukosa ini lebih dikenal sebagai selaput. Melalui lapisan mukosa inilah, virus HIV dapat berkembang biak, bereplikasi dan melipatgandakan jumlahnya dengan cepat.

Seperti yang kita ketahui, tubuh kita juga memiliki system kekebalan tubuh (imunitas) . dalam sebuah “system keamanan” yang kompleks dalam tubuh kita ini, terdapat suatu satuan “tentara” atau “pasukan” tertentu yang ditugaskan untuk melawan “musuh” (dalam hal ini virus HIV). Pasukan tersebut adalah CD8+ CTLs, merupakan jenis Citotoksik T  Limfosit (CTL). CD8+CTLs pun terbagi atas dua kelompok besar, ada yang high avidity, ada yang low avidity. Dalam penelitian vaksin HIV ini, CD8+CTLs yang berjenis high avidity yang lebih banyak berperan karena memiliki kekuatan ikat terhadap virus HIV lebih kuat (strong antigen – antibody bound).

Dasar pemikiran atas vaksin terhadap HIV, adalah dengan menginduksi (memunculkan) sel CD8+CTLs dalam lapisan mukosa sehingga energi yang digunakan untuk memerangi si virus dapat bertambah besar. Anda mungkin juga pernah mendengar tentang CD4+ yang juga dijadikan sebagai parameter klinis atas HIV/AIDS, mungkin anda kembali bertanya, mengapa bukan CD4+ saja yang diinduksi? Setelah membolak balik lembar jurnal, saya menemukan sebuah teori yang menjelaskan bahwa CD8+ lebih dulu maju melawan virus, namun karena CD8+ ini lemah, maka dia cepat kalah, sehingga CD4+ yang melanjutkan perjuangan melawan si virus. Tidak heran bahwa yang diinduksi adalah CD8+, karena CD8+ adalah pasukan di garda terdepan.


Kembali berselancar mencari jurnal elektronik, saya kembali dibuat bingung dengan sebuah artikel yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan Thailand. Dalam artikel itu disebutkan bahwa dalam 3 studi sebelumnya telah ditemukan hasil bahwa semakin tinggi level CD8+CTLS semakin tinggi pula tingkatan viremianya, ini berarti semakin kuat tubuh memberikan respon kekebalan tubuh, semakin tinggi pula virus berkembang biak. Bagaimana bisa ya? Dalam artikel itu dikemukan alasan yang cukup logis, begini alasannya, CD8+CTLs sebagai pasukan untuk melawan virus memang menghancurkan virus (mediated lysis) tetapi ternyata tidak membunuh virion yang terdapat di dalam sel (intracellular virion), sehingga justru menambah jumlah partikel – partikel virus yang menginfeksi medium di sekitarnya. Ya, make sense memang. Lebih lanjut, artikel tersebut kembali mengelaborasi akan sebuah batasan mengenai rasio CD4+/CD8+ . Ternyata, sah – sah saja kalau CD8+ di induksi, asalkan masih dalam batasan rasio tertentu yang aman.

Selain itu saya juga secara kebetulan menemukan open access review, entah ini merupakan suatu bentuk meta analysis atau bukan, sebuah review yang dikeluarkan oleh Retrovirology, Bio Med Central yang berjudul “Innate Immunity against HIV: a priority target for HIV prevention research” menyebutkan berbagai macam defense mechanism terhadap virus HIV seperti  cairan/ secrete yang terdapat pada mukosa alat kelamin yang memiliki aktivitas anti HIV, contohnya adalah rantai protein yang terdapat di cairan semen dalam ejakulan yang dikenal dengan nama Semen Derived Enhancer of Virus Infection atau SEVI, tersebut pula beraneka ragam cytokine seperti IL-15, IL-18, IFN alfa, TNF alfa, NK Cells, FN gamma, dan lain – lain yang juga ikut terlibat.

Kalau selama ini uji coba hanya dilakukan terhadap hewan (uji preklinis), pada tahun 2011 ini vaksin juga mulai diuji cobakan pada manusia, seperti yang direlease oleh harian Media Indonesia dan diletakkan ke dalam website Komite Penanggulangan AIDS Indonesia, berikut kutipannya :
"Sebuah vaksin AIDS yang diujicobakan pada manusia terbukti tidak efektif karena terpengaruh oleh susunan genetik virus yang masuk. Temuan ini menjadi bukti pertama adanya vaksin yang menginduksi respons imun sel melawan infeksi HIV-1. Respons tersebut mendesak tekanan selektif pada virus. Hal itu dikemukakan profesor mikrobiologi Universitas Washington (UW) Dr James I Mullins yang memimpin tim peneliti untuk menganalisis pembagian genom pada isolasi HIV-1 dari 68 sukarelawan yang baru terinfeksi pada uji coba vaksin STEP HIV-1."


Dan pada akhirnya, saya terpaksa harus mengakhiri posting ini dengan mengulang kembali sebuah pertanyaan: “Vaksin untuk HIV/AIDS, mungkinkah?” hal ini karena semua yang saya sampaikan di atas masih dalam tingkatan penelitian. Sebuah teori yang tampak fantastis ternyata juga hadir dalam bentuk ketidak sempurnaan. Itulah ilmu pengetahuan. Entah berapa tahun lagi baru benar – benar muncul vaksin HIV yang benar aplikatif. Sekali lagi, vaksin untuk HIV/AIDS, mungkinkah?!


“Tidak ada yang sempurna di dunia ini, kesempurnaan hanyalah milik Tuhan” 
                            -Dorce Gamalama, entertainer-


Reference:
  • Belyakov IM, Kuznetsov VA, Kelsali B, Klinmam D, et al. Impact of vaccine – induced mucosal high avidity CD8+CTLs in delay of AIDS viral dissemination from mucosa. Blood: 2006 107: 3258-3264.
  • Bourinbaiara A, Metadilogkul O, and Jirathitikal V. Mucosal AIDS Vaccines. Ministry of Public Health, Bangkok 10400, Thailand.
  • Borrow P, Shattock RJ, Vyakarnam A. Innate Immunity against HIV: A priority target for HIV prevention research. BioMed Central, Retrovirologist 2010, 7:84.
  • http://www.aidsindonesia.or.id/biotek-genetik-virus-pengaruhi-vaksin-hiv-media-indonesia.html

Minggu, 08 Mei 2011

Pura - pura Sakit


Pernahkah anda pergi ke dokter? Saya yakin, bagi anda yang tinggal di daerah perkotaan, di mana akses terhadap pelayanan kesehatan relatif mudah pasti pernah pergi ke dokter. Ada banyak alasan mengapa orang pergi ke dokter. Alasannya pun bervariasi satu sama lain, secara garis besar, menurut Merck Manual, ada dua alasan orang untuk berjumpa dengan dokter. Yang pertama, dalam rangka Routine Visits, untuk alasan ini, pasien tidak merasakan adanya masalah kesehatan, tujuan melakukan routine visits hanyalah untuk sekedar check up atau kontrol rutin. Yang kedua, dikenal dengan istilah Visits for Problem(s), seperti namanya, kunjungan tipe seperti ini identik dengan adanya gejala yang membuat si pasien tidak nyaman, mudahnya, si pasien memang sedang sakit dan membutuhkan atensi medis.

Tapi pernahkah terpikirkan oleh anda, bahwa di luar alasan yang sudah saya sebutkan di atas, terkadang ada alasan lain mengapa seseorang menemui dokter? Alasan yang satu ini mungkin saja terdengar aneh bagi anda, bagaimana bisa seseorang pura – pura sakit agar bisa berjumpa dengan dokter? Dulu, sebelum mempelajari ilmu kedokteran saya mungkin hanya bisa berkomentar “apaan sih, orang nggak sakit kok pura – pura sakit, nanti malah sakit beneran lho..”

Dalam dunia medis sendiri, ada berbagai macam istilah yang menggambarkan orang yang pura – pura sakit tersebut, sebut saja, setidaknya ada tiga istilah yang sama – sama merepresentasikan kondisi tersebut, antara lain : malingering, hypochondriasis, dan Munchausen Syndrome. Ketiga istilah ini seolah bagaikan istilah yang serupa tapi tak sama, mari kita coba untuk membahasnya satu per satu.
 
Secara harafiah, malingering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “kepura-puraan”. Yang cukup menarik bagi saya, malingering ternyata bukanlah penyakit mental (mental illness). Dalam DSM- IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi ke empat) malingering sendiri dikategorikan dalam “other conditions” yang mungkin memerlukan fokus perhatian medis. Bagaimanakah malingering itu sebenarnya? DSM IV kembali menyebut demikian:

"The essential feature of Malingering is the intentional production of false or grossly exaggerated physical or psychological symptoms, motivated by external incentives such as avoiding military duty, avoiding work, obtaining financial compensation, evading criminal prosecution, or obtaining drugs."
 
Baik, mungkin menjadi membingungkan kalau kita hanya membaca definsinya saja. Begini, sebut saja ada seorang pegawai, karena belum selesai mengerjakan tugas yang diperintahkan atasannya dia takut untuk masuk kantor, takut dimarahi oleh bos nya, oleh karena itu, dia datang ke dokter, mengaku bahwa perutnya sakit sekali sampai melilit – lilit, ujung – ujungnya dia meminta surat keterangan sakit dari si dokter agar dia dapat beristirahat di rumah. Selepas dari ruang praktek dokter dia kembali sehat walafiat, segar bugar, bisa berjalan cepat dan tertawa lepas. Hal ini diketahui oleh perawat yang kebetulan keluar ruangan bersamaan dengan pasien. Jadilah, si pasien tertangkap basah telah melakukan tindakan pura – pura / malingering.

Agak sedikit berbeda dengan malingering, pasien yang memiliki hypochondriasis cenderung bersikap berlebihan terhadap keadaan yang sesungguhnya normal. Dalam kondisi ini, umumnya pasien merasakan adanya gejala fisik (yang seolah membuat pasien berpikiran bahwa dirinya sakit) namun penyebab fisik nya sebetulnya tidak ada atau dengan istilah lain bisa juga disebut dengan somatisasi atau ‘medically unexplained symptoms’.
 
Seorang hypochondriac mempunyai ciri tak henti-hentinya memeriksa kondisi tubuhnya sendiri dari hari ke hari (constant self-examination) dan membuat diagnosa sendiri (self diagnosis). Dia benar-benar terobsesi dengan tubuhnya sendiri (preoccupied), sehingga gangguan-gangguan kesehatan kecil saja sudah membuat dia panik dan merasa sedang diserang penyakit yang mematikan. Sebagai contoh, ketika seorang hypochondriac mengalami sakit kepala, bisa saja dia berpikir bahwa dia memiliki kanker otak. Kondisi hypochondriac ini sering kali diikuti oleh gejala kejiwaan lainnya seperti perasaan cemas, depresi, dan juga penyakit obsesif – kompulsif.
 
Lalu bagaimana dengan Munchausen Syndrome? Cleveland mendefinisikan syndrome ini sebagai berikut:
 
Munchausen syndrome is a type of factitious disorder, or mental illness, in which a person repeatedly acts as if he or she has a physical or mental disorder when, in truth, he or she has caused the symptoms. People with factitious disorders act this way because of an inner need to be seen as ill or injured, not to achieve a concrete benefit.
 
Apabila sekilas anda membaca definisi di atas, mungkin anda akan kembali teringat dengan malingering. Ya, Munchausen syndrome memang mirip dengan malingering, yang membedakannya dengan malingering adalah tujuannya. Kalau malingering cenderung memiliki motivasi eksternal untuk mendapatkan keuntungan tertentu, motivasi sindrom munchausen justru timbul dari dalam diri pasien (misalnya untuk mendapatkan perhatian dari pihak keluarga) dan tanpa dilandasi keinginan untuk mendapatkan keuntungan yang konkrit.
 
Orang dengan Munchausen ini ingin dianggap sebagai si sakit. Tidak heran tipe orang seperti ini muncul menemui sang dokter dengan berbagai macam gejala – gejala medis, mulai dari nyeri dada, nyeri perut, sampai nyeri – nyeri yang lainnya. Dan salah satu tanda yang khas adalah apabila hasil pemeriksaan negatif untuk suatu penyakit atau tes laboratorium tertentu, maka si pasien akan memunculkan gejala – gejala baru.
 
Penyebab pasti munchausen syndrome ini belum diketahui secara pasti, namun beberapa sumber menyebutkan bahwa sindrom ini memiliki keterkaitan dengan riwayat penganiayaan anak (abused children) , neglected children (anak – anak yang tidak mendapatkan perhatian orang tuanya dengan baik) dan juga seringnya frekuensi keluar masuk rumah sakit (frequent hospitalization).
 


Nah, bagaimana menurut anda? Ternyata pura – pura sakit ada banyak macamnya kan? Nah, hal ini pulalah yang menjadi tantangan bagi saya dan rekan yang nantinya berhadapan dengan pasien. Seorang dokter harus jeli dan tidak boleh langsung percaya dengan apa yang dikatakan pasien, apalagi di jaman serba modern ini akses terhadap informasi kesehatan tidaklah sulit. Sederhananya, andaikan saya seorang awam pun, saya tinggal mencari informasi tentang gejala suatu penyakit di google, lalu saya peragakan di depan dokternya. Tidak sulit kan? Tapi tenang saja, sekalipun anda berbohong dengan kata- kata, hasil dari pemeriksaan fisik dan penunjang tidak akan pernah bohong. Itulah mengapa ilmu kedokteran membutuhkan pendekatan yang holistik, pendekatan yang menyeluruh dari berbagai aspek dan sudut pandang. Tidak heran kalau sekolah kedokteran makan waktu yang lama.. hehe..



“Everybody lies”
-House, M.D.-
Referensi :

Oxford Handbook of Clinical Specialities
http://www.merckmanuals.com/home/sec01/ch004/ch004c.html
http://emedicine.medscape.com/article/293206-overview#a0101
http://www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=18717
http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2011/04/08/hypochondriac-penderita-penyakit-fiktif/
http://my.clevelandclinic.org/disorders/factitious_disorders/hic_munchausen_syndrome.aspx

Selasa, 08 Maret 2011

We name it as "Metamorphosis"



Tahukah anda, apa arti dari kata metamorfosis? Secara harafiah, metamorfosis dapat diartikan sebagai suatu proses perkembangan biologis yang melibatkan perubahan penampilan fisik dan/atau struktur setelah kelahiran. Istilah metamorfosis ini pada dasarnya ditujukan kepada hewan yang memiliki beberapa fase dalam kehidupannya, sebut saja kupu – kupu yang melewati tiga fase dalam hidup, fase larva/nimfa, fase pupa, hingga fase kupu – kupu dewasa.


Belajar dari si kupu – kupu tersebut, tampaknya istilah metamorfosis kerap kali digunakan untuk menggambarkan suatu proses urut – urutan kehidupan manusia. Yang paling sering kita temui adalah mengenai urut – urutan manusia mulai dari dia sebagai bayi yang kecil, hingga menjadi orang dewasa. 

Menarik memang, oleh karena itu, di sini saya ingin berbagi mengenai gambar – gambar saya mulai dari saya kecil hingga saat ini. Tampaknya gambar lebih mewakili saya untuk bercerita pada posting kali ini.. Selamat memperhatikan :)   

Masa Balita saya, iya saya suka sekali bergaya di depan kamera    



Ini pura - pura nya saya sedang berpose di dekat menara Eiffel hehe..
Ini waktu saya berumur sekitar 7 sampai 9 tahun
Foto waktu saya ulang tahun ke 12 bersama keluarga tercinta
Kalau yang ini foto masa awal masuk SMP
Yang ini foto saya pas lagi gendut - gendutnya, sampai 80 kg juga pernah lho..
Yang ini masa - masa SMA :)
Taraaaaa.. ini saya yang sudah memasuki masa kuliah...

Nah bagaimana? Mungkin anda merasa terkejut di beberapa bagian dalam foto ini. Saya kembali meyakinkan anda bahwa yang anda lihat dalam foto – foto di atas adalah orang yang sama. Iya, saya sendiri..Saya menyadari ada suatu proses metamorfosis yang mencolok pada diri saya. Yup, saya menjadi lebih ‘kecil’ hehe..

Masuk ke dalam dunia kesehatan mulai mengajak saya untuk berpikir banyak dan juga menyadarkan saya bahwa gaya hidup membawa pengaruh pada kesehatan seseorang. Anda tentu pernah mendengar apa yang disebut dengan Body Mass Index atau Indeks Masa Tubuh. Anda dapat menghitungnya sendiri dengan memasukkan tinggi badan dan berat badan anda pada tabel berikut:


Baiklah, dimanakah anda? Kalau anda berada di zona overweight atau obese, saya sarankan anda untuk lebih memperhatikan pola makan dan aktivitas fisik anda. Sederhananya, kurangi makan, perbanyak gerak. Tetapi, anda juga perlu memperhatikan faktor-faktor lain seperti usia dan juga kondisi kesehatan anda saat ini. Misalnya saja, kalau anda punya penyakit jantung, anda tidak diperkenankan untuk melakukan olahraga dengan intensitas tinggi dan juga terlalu melelahkan seperti bermain sepak bola, begitu pula bagi anda yang sudah berusia lanjut. Sedangkan bagi anda yang lebih memilih untuk mengontrol berat badan melalui makanan yang anda santap, berdiet bukan berarti tidak makan sama sekali, melainkan mengurangi porsinya. Dan yang paling penting dan perlu disadari apabila anda berniat menurunkan berat badan, kurangilah secara bertahap, perlahan – lahan, sekitar 2-  4 kg perbulan untuk mendapatkan hasil yang baik. Saya sendiri membutuhkan waktu sekitar 1 tahun untuk menurunkan berat sebanyak 15 kg. Jangan kuatir, waktu penurunan berat badan sangat bervariasi antar individu satu yang lain.

Posting ini sengaja saya tulis, bukan karena saya ingin pamer karena saya sudah berhasil. Saya sendiri masih menemukan kesulitan dalam menjaga berat badan supaya tidak kembali gemuk lagi, apalagi di masa liburan, aduh, bukan main susahnya me’maintain’ jarum timbangan supaya tidak bergeser ke kanan.. hehe.. Yang jelas, di sini saya hanya ingin berbagi. Terutama, saya juga teringat akan pesan dosen saya, bahwa sebagai dokter nantinya, saya harus dapat menjadi “Role Model” bagi para pasien saya, oleh karena itu, saya ingin menjadi sehat, supaya dapat menjadi contoh dan juga agar dapat melayani pasien saya dengan baik nantinya. Coba bayangkan, bagaimana saya dapat menyarankan pasien saya untuk mengurangi berat badan apabila saya sendiri juga gemuk? 


Sabtu, 05 Februari 2011

I'm (not yet) graduate !


"I keep, keep thinking that it's not goodbye.. Keep on thinking it's a time to fly.."
-Graduation (Friends Forever) by Vitamin C-

  Ya, yang barusan adalah petikan dari sebuah lagu berjudul Graduation. Lagu ini mendadak kerap kali saya putar berulang-ulang, bahkan, lebih dari itu, setiap mendengar lagu ini, saya mencoba untuk menghayatinya. Berhadapan pada istilah kelulusan sebenarnya bukan hal baru bagi saya, saya merasakan bagaimana rasanya lulus TK, SD, SMP, dan juga SMA sebelumnya, namun kelulusan yang akan saya hadapi kali ini terasa beda sekali.

  Aura mendekati kelulusan sebenarnya sudah mulai saya rasakan semenjak akhir semester 5 kemarin, dimana kakak - kakak angkatan 2006 sudah mulai ko as, jadilah angkatan saya sebagai angkatan tertua di kampus. Pada waktu itu saya masih berpikir, toh masih punya satu tahun lagi sebelum ko as, ah masih lama.. tapi ternyata waktu satu tahun itu benar - benar tidak terasa. Blok demi blok berlalu, lalu tahu - tahu saja saya sudah menyelesaikan semua blok. Lalu saya kembali bertanya pada diri saya, ke mana saja saya selama satu tahun ini? hal ini juga semakin dipertajam, saat tiba waktunya pendadaran. Hah? Saya juga kaget, tau - tau saja saya sudah selesai pendadaran. Waow.. Sungguh, waktu berlalu cepat sekali.

  Agaknya, hal ini mulai memancing otak saya untuk berpikir tentang rencana masa depan. Mungkin bagi sebagian orang, rencana masa depan diidentikkan dengan berkhayal. Untuk apa jauh - jauh memikirkan masa depan, sudah jalani saja saat ini, begitu kata sebagian orang. Ya, ada benarnya juga, tapi saya kurang setuju. kalau boleh jujur, saya percaya pada kekuatan mimpi, the power of dream!

  Sedikit cerita, tahukah anda, saya sering kali menggambarkan diri saya, atau singkatnya, katakanlah 'berkhayal' bahwa saya telah mendapatkan apa yang saya inginkan. Semisal, dulu waktu SD, saya berkhayal supaya bisa masuk di SMP favorit, di kelas akselerasi. Pada waktu itu saya mulai membayangkan dengan detail, bagaimana nanti kalau saya diterima, mencoba membayangkan betapa sibuknya saya nantinya, dan lain sebagainya,sampai akhirnya saya sungguh - sungguh merasakan bagaimana menjadi anak kelas percepatan itu. Luar biasa bukan? 

  Mengapa bisa begitu? ada orang yang bilang, kalau dengan memvisualisasikan masa depan, itu berarti kita mengajak alam bawah sadar kita untuk berjuang meraih apa yang kita inginkan, ada pula teori semestakung atau semesta mendukung yang kurang lebih sama. Namun, menurut saya, ini menurut saya pribadi ya, ada penjelasan yang lain, yaitu bahwa secara tidak sadar, sebenarnya kita menyampaikan permohonan kita tadi melalui doa kepada Sang Maha, dan ketika apa yang kita inginkan mendapat ijin dariNya maka terwujudlah hal itu.

  
 Obrolan dengan orang tua tadi pagi memang semakin mengingatkan saya tentang pentingnya membuat planning.  Ayah saya selalu mengingatkan, di jaman yang sudah maju ini dunia akan semakin menuntut. Begitu juga dalam profesi kedokteran, pasien yang datang semakin kritis, dokter pun dituntut untuk lebih handal dalam menangani pasien. Bagaimana caranya supaya dapat menjadi dokter handal? tentu saja melalui jalur pendidikan. Dengan kata lain, ilmu atau pendidikan adalah hal yang paling utama. Tentu saja saya sangat setuju dengan pendapat beliau. Lalu muncul pertanyaan di belakang kata pendidikan tersebut. Pertanyaannya adalah apa, mengapa, kapan, di mana, dan bagaimana.
  Uniknya, ibu saya memberikan pemahaman lain mengenai rencana masa depan, selain mengiyakan bahwa pendidikan itu penting, beliau juga memikirkan mengenai rencana masa depan untuk membina hidup berumah tangga nantinya. Ibu saya hanya mengingatkan bahwa saya adalah anak perempuan, dan pendidikan spesialisasi itu makan waktu yang lama. itu saja. Memang kelihatannya singkat, tapi sungguh penuh makna.

Seakan tidak mau kalah, adik saya juga ikut memberikan kontribusi secara tidak langsung. Karena satu dan lain hal, saya membuka - buka buku pelajaran Sejarah nya, pelajaran sejarah anak SMP, di situ saya menemukan sebuah materi mengenai pembangunan nasional jaman orde baru yang memiliki prinsip: Bertahap dan Berkesinambungan. Apa artinya bertahap? Tentu saja langkah demi langkah, satu demi satu, apa artinya berkesinambungan? terus menerus maju untuk menempuh dan mengembangkan tahap selanjutnya dengan tanpa meninggalkan apa yang sudah didapat/ dipelajari di tahap sebelumnya. Luar biasa!

Agaknya hari ini Tuhan memang mengingatkan saya agar menjadi semakin dewasa. Tidak tanggung - tanggung, Tuhan mengigatkan saya melalui orang-orang terdekat saya, keluarga saya :)

Baiklah, jadi apa yang bisa saya simpulkan mengenai graduation atau kelulusan yang sudah semakin dekat ini? 
  1. Kelulusan kali ini berbeda dengan kelulusan saya sebelumnya
  2. Lulus bukan berarti saya sudah menguasai ilmu kedokteran. saya hanya sekedar lebih tahu tentang ilmu kedokteran. Oleh karena itu, saya juga harus menempuh pendidikan profesi sebagai seorang ko as selama dua tahun ke depan.
  3. Lulus merupakan titik balik saya, yang memberikan saya pembelajaran untuk mulai berpikir selayaknya orang dewasa.

Maka, kelulusan memang bukan waktunya untuk mengatakan good bye pada materi perkuliahan dan teman - teman seperjuangan, melainkan waktunya untuk terbang mengepakkan sayap, saya ingin mengepakkan kedua sayap saya dengan kokohnya, supaya saya dapat terbang ke langit setinggi - tingginya, mengapa harus tinggi? Supaya ketika saya terjatuh, saya masih berada di antara bintang - bintang. Dan bahagianya saya apabila saya dapat terbang bersama dengan orang - orang yang saya cintai. Ya, mari mengepakkan sayap bersama ! Tetap semangat semuanya!

NB: doakan saya ya di ujian komprehensif tgl 23 Februari nanti (kalau ngga berubah), doakan juga mengenai ujian perbaikan yang masih harus saya tempuh. Semoga keduanya membuahkan hasil yang maksimal dan terbaik. Amin :)


"I'll spread my wings and I learn how to fly, I'll do what it takes till I touch the sky"
-Breakaway by Kelly Clarkson-

Kamis, 13 Januari 2011

Living Under The White Coat..

 

Dua minggu terakhir ini saya sering sliweran atau berkeliaran di RSUP Dr. Sardjito sehubungan dengan kegiatan pembelajaran blok elektif yang saya pilih, yaitu blok tentang penyakit koma dan penurunan kesadaran, tentang saraf. Hampir setiap hari, paling tidak lima kali dalam seminggu saya berkunjung ke sana. Selalu ada yang menggetarkan hati saya setiap kali menapakkan kaki di area rumah sakit ini.

Sedikit cerita, RSUP Dr. Sardjito, sesuai dengan namanya, merupakan Rumah Sakit Umum Pusat, kelas A, dengan kapasitas ratusan bed rawat inap, merupakan rumah sakit rujukan untuk daerah Yogyakarta dan sekitarnya, dan juga merupakan rumah sakit pendidikan atau teaching hospital.

Sebagai rumah sakit pendidikan, tentu saja rumah sakit ini menjadi lebih istimewa. Sebagai seorang mahasiswa kedokteran, kadang saya harus kuliah, tutorial, atau pernah juga mengikuti bed side teaching sebagai bagian dari perkuliahan saya di rumah sakit ini. Apalagi letaknya yang hanya berseberangan dengan kampus, membuat RSUP Dr. Sardjito semakin dekat dalam kehidupan saya.


Entah kenapa, rasa itu, yang tadi saya sebut sebagai rasa yang menggetarkan hati, tetap saja muncul setiap kali saya menapakkan kaki di sana, padahal, saya sudah sering mondar mandir ke Sardjito. Lalu saya, mulai bertanya pada diri sendiri, mengapa demikian?

Sayapun mencoba untuk berefleksi, ternyata, yang menggetarkan hati saya itu adalah gambaran masa depan saya sebagai tenaga kesehatan, khususnya sebagai seorang dokter, yang tercermin jelas dalam hiruk pikuk rumah sakit. Mungkin bagi anda hal ini hanyalah hal yang biasa dan wajar, tapi, sekali lagi entah kenapa, diri saya selalu menanggapinya dengan serius.

Ambil saja contoh, ketika berpapasan dengan seorang Residen (dokter umum yang sedang menjalani pendidikan untuk menjadi dokter spesialis) berbagai macam pemikiran langsung terlintas dalam benak saya, mulai dengan kerennya jas dokter yang dia kenakan sampai membayangkan berapa jam sehari dia bisa tidur dan istirahat. Sama halnya ketika saya melihat kakak – kakak saya yang sudah Ko As sebagai dokter muda, dalam pikiran ini langsung terbesit bagaimana capeknya mereka, apakah masih sempat belajar kalau sudah capek begitu, apakah masih bisa malam mingguan kalau sudah ko as nanti dan bahkan sampai hal – hal yang tidak relevan seperti seberapa sering jas mereka dicuci apakah setiap hari atau setiap minggu. 

Ya, hal – hal seperti itulah yang membuat hati saya tergetar. Belum lagi kalau saya berjumpa dengan pasien yang sedang dipindahkan, dari bangsal menuju ruang radiologi misalnya, dengan melihat wajah pasien yang kuyu, lesu, dan tampak tak berdaya membuat saya merasa semakin tertantang, sebuah pertanyaan besar menggema di dalam diri saya: “Apa yang dapat saya lakukan untuk mereka?”. Ditambah lagi ketika melihat wajah – wajah pihak keluarga yang ikut mendampingi, bahkan tak jarang, saya melihat mereka tertidur hanya dengan beralaskan tikar atau bahkan koran demi mendampingi sanak saudara mereka yang sedang terbaring sakit.


Nampaknya kehidupan telah kembali mengajarkan kepada saya tentang berharganya nilai kesehatan itu, tidak hanya kesehatan yang dimiliki oleh seorang individu, tapi bagaimana kesehatan seorang individu dapat berdampak pada kehidupan orang – orang di sekitarnya. 

Di samping itu, kehidupan juga mengajarkan kepada saya akan sebuah tanggung jawab besar dalam profesi saya nantinya. Perlahan saya mulai meraba – raba, bagaimana rasanya hidup di balik jas putih. Sudah barang tentu orang akan merasa bangga, namun saya juga menyadari, bahwa kebanggaan yang berlebihan rupanya sama saja dengan menjerumuskan diri kepada jurang keangkuhan. Maka saya selalu mengingatkan diri saya, kalau sudah hidup di balik jas putih nanti, agar jangan terlalu lama dan terlalu tinggi berbangga hati.

Ada hal yang lebih penting menurut saya dalam kehidupan di balik jas putih ini. Kebanggaan itu menyimpan beban. Beban moral dan kemanusiaan yang amat sangat berat. Sebentar, sebelumnya saya tegaskan, bahwa saya tidak sedang mengeluh di sini. Beban moral dan kemanusiaan itu justru menjadi kontrol bagi diri saya yang mengingatkan bahwa dokter bukanlah dewa atau dewi atau bahkan Tuhan. Tidak semua pasien yang sakit dapat dokter sembuhkan, yang dokter dapat lakukan adalah mengusahakan yang terbaik dari segi medis. Hal ini pula yang mengingatkan saya, bahwa saya masih memiliki beragam keterbatasan yang membuat saya untuk terpacu agar dapat terus belajar dan belajar lagi agar dapat melayani sesama dengan lebih baik lagi.


Sebagai mahasiswa semester terakhir, sebentar lagi saya akan mencicipi kehidupan di balik jas putih itu, walaupun masih dalam tingkatan ko as. Ada perasaan senang luar biasa, excited, tertarik, semangat, penasaran akan jenjang pendidikan dalam dunia klinis tersebut, namun sekali lagi di samping euphoria kesenangan tersebut, terdapat pula banyak kekhawatiran yang menyertai. Kekhawatiran terbesar saya saat ini adalah ketidaksiapan saya untuk ‘mengenakan’ jas putih tadi.

Namun bagaimanapun, hidup harus bergulir, saya terus meyakinkan diri saya untuk tetap berjuang, berjuang, dan berjuang dan dilandaskan dalam jargon “3B” yang tertempel  di dinding kamar saya yang merupakan kepanjangan dari Berdoa, Belajar, dan Berusaha. Sungguh, yang saya inginkan adalah bagaimana menjadi seorang yang berguna sesamanya. Semoga saya dapat mewujudkan suatu saat nanti. Amin. Dan bagaimanapun, saya akan tetap menikmati prosesnya, jatuh, bangun, berdiri, merangkak, tiarap, melompat, senang, sedih, ababil, galau, up and down, akan saya nikmati, karena profesi ini adalah profesi yang saya cintai dan saya cita – citakan. Ya, mari berjuang bersama, kolegaku!