Kamis, 13 Januari 2011

Living Under The White Coat..

 

Dua minggu terakhir ini saya sering sliweran atau berkeliaran di RSUP Dr. Sardjito sehubungan dengan kegiatan pembelajaran blok elektif yang saya pilih, yaitu blok tentang penyakit koma dan penurunan kesadaran, tentang saraf. Hampir setiap hari, paling tidak lima kali dalam seminggu saya berkunjung ke sana. Selalu ada yang menggetarkan hati saya setiap kali menapakkan kaki di area rumah sakit ini.

Sedikit cerita, RSUP Dr. Sardjito, sesuai dengan namanya, merupakan Rumah Sakit Umum Pusat, kelas A, dengan kapasitas ratusan bed rawat inap, merupakan rumah sakit rujukan untuk daerah Yogyakarta dan sekitarnya, dan juga merupakan rumah sakit pendidikan atau teaching hospital.

Sebagai rumah sakit pendidikan, tentu saja rumah sakit ini menjadi lebih istimewa. Sebagai seorang mahasiswa kedokteran, kadang saya harus kuliah, tutorial, atau pernah juga mengikuti bed side teaching sebagai bagian dari perkuliahan saya di rumah sakit ini. Apalagi letaknya yang hanya berseberangan dengan kampus, membuat RSUP Dr. Sardjito semakin dekat dalam kehidupan saya.


Entah kenapa, rasa itu, yang tadi saya sebut sebagai rasa yang menggetarkan hati, tetap saja muncul setiap kali saya menapakkan kaki di sana, padahal, saya sudah sering mondar mandir ke Sardjito. Lalu saya, mulai bertanya pada diri sendiri, mengapa demikian?

Sayapun mencoba untuk berefleksi, ternyata, yang menggetarkan hati saya itu adalah gambaran masa depan saya sebagai tenaga kesehatan, khususnya sebagai seorang dokter, yang tercermin jelas dalam hiruk pikuk rumah sakit. Mungkin bagi anda hal ini hanyalah hal yang biasa dan wajar, tapi, sekali lagi entah kenapa, diri saya selalu menanggapinya dengan serius.

Ambil saja contoh, ketika berpapasan dengan seorang Residen (dokter umum yang sedang menjalani pendidikan untuk menjadi dokter spesialis) berbagai macam pemikiran langsung terlintas dalam benak saya, mulai dengan kerennya jas dokter yang dia kenakan sampai membayangkan berapa jam sehari dia bisa tidur dan istirahat. Sama halnya ketika saya melihat kakak – kakak saya yang sudah Ko As sebagai dokter muda, dalam pikiran ini langsung terbesit bagaimana capeknya mereka, apakah masih sempat belajar kalau sudah capek begitu, apakah masih bisa malam mingguan kalau sudah ko as nanti dan bahkan sampai hal – hal yang tidak relevan seperti seberapa sering jas mereka dicuci apakah setiap hari atau setiap minggu. 

Ya, hal – hal seperti itulah yang membuat hati saya tergetar. Belum lagi kalau saya berjumpa dengan pasien yang sedang dipindahkan, dari bangsal menuju ruang radiologi misalnya, dengan melihat wajah pasien yang kuyu, lesu, dan tampak tak berdaya membuat saya merasa semakin tertantang, sebuah pertanyaan besar menggema di dalam diri saya: “Apa yang dapat saya lakukan untuk mereka?”. Ditambah lagi ketika melihat wajah – wajah pihak keluarga yang ikut mendampingi, bahkan tak jarang, saya melihat mereka tertidur hanya dengan beralaskan tikar atau bahkan koran demi mendampingi sanak saudara mereka yang sedang terbaring sakit.


Nampaknya kehidupan telah kembali mengajarkan kepada saya tentang berharganya nilai kesehatan itu, tidak hanya kesehatan yang dimiliki oleh seorang individu, tapi bagaimana kesehatan seorang individu dapat berdampak pada kehidupan orang – orang di sekitarnya. 

Di samping itu, kehidupan juga mengajarkan kepada saya akan sebuah tanggung jawab besar dalam profesi saya nantinya. Perlahan saya mulai meraba – raba, bagaimana rasanya hidup di balik jas putih. Sudah barang tentu orang akan merasa bangga, namun saya juga menyadari, bahwa kebanggaan yang berlebihan rupanya sama saja dengan menjerumuskan diri kepada jurang keangkuhan. Maka saya selalu mengingatkan diri saya, kalau sudah hidup di balik jas putih nanti, agar jangan terlalu lama dan terlalu tinggi berbangga hati.

Ada hal yang lebih penting menurut saya dalam kehidupan di balik jas putih ini. Kebanggaan itu menyimpan beban. Beban moral dan kemanusiaan yang amat sangat berat. Sebentar, sebelumnya saya tegaskan, bahwa saya tidak sedang mengeluh di sini. Beban moral dan kemanusiaan itu justru menjadi kontrol bagi diri saya yang mengingatkan bahwa dokter bukanlah dewa atau dewi atau bahkan Tuhan. Tidak semua pasien yang sakit dapat dokter sembuhkan, yang dokter dapat lakukan adalah mengusahakan yang terbaik dari segi medis. Hal ini pula yang mengingatkan saya, bahwa saya masih memiliki beragam keterbatasan yang membuat saya untuk terpacu agar dapat terus belajar dan belajar lagi agar dapat melayani sesama dengan lebih baik lagi.


Sebagai mahasiswa semester terakhir, sebentar lagi saya akan mencicipi kehidupan di balik jas putih itu, walaupun masih dalam tingkatan ko as. Ada perasaan senang luar biasa, excited, tertarik, semangat, penasaran akan jenjang pendidikan dalam dunia klinis tersebut, namun sekali lagi di samping euphoria kesenangan tersebut, terdapat pula banyak kekhawatiran yang menyertai. Kekhawatiran terbesar saya saat ini adalah ketidaksiapan saya untuk ‘mengenakan’ jas putih tadi.

Namun bagaimanapun, hidup harus bergulir, saya terus meyakinkan diri saya untuk tetap berjuang, berjuang, dan berjuang dan dilandaskan dalam jargon “3B” yang tertempel  di dinding kamar saya yang merupakan kepanjangan dari Berdoa, Belajar, dan Berusaha. Sungguh, yang saya inginkan adalah bagaimana menjadi seorang yang berguna sesamanya. Semoga saya dapat mewujudkan suatu saat nanti. Amin. Dan bagaimanapun, saya akan tetap menikmati prosesnya, jatuh, bangun, berdiri, merangkak, tiarap, melompat, senang, sedih, ababil, galau, up and down, akan saya nikmati, karena profesi ini adalah profesi yang saya cintai dan saya cita – citakan. Ya, mari berjuang bersama, kolegaku!