Waktu akhirnya mengantarkan perjalanan saya untuk menjadi seorang dokter dalam sebuah babak yang baru. Kalau dulu kegiatan saya berkutat pada dunia pre klinik, di mana sehari – harinya saya hidup bertemankan teori, kini segala sesuatunya baru. Saya dihadapkan pada dunia klinis.Terus terang,dunia klinis inilah yang sudah sekian lama saya nantikan. Dan kini, tanpa terasa delapan bulan babak baru ini telah saya jalani. Well, time flies :)
Waktu awal orientasi dokter muda, seorang pembicara pernah mengatakan: “Anda ini sudah dokter, tapi dokter muda, wong sudah sarjana, ya to?” atau di lain kesempatan ada yang mengingatkan “Anda kami anggap sebagai bagian pelayanan dari Rumah Sakit, sekalipun anda masih dalam proses pendidikan” yang beliau berdua sampaikan memang sepenuhnya benar. Entah kenapa yang ada dalam pikiran saya saat itu hanya ada satu kata : Ekspektasi.
Dalam ekspektasi tersebut terselip berbagai macam hal, mulai dari harapan hingga tuntutan. Pokoknya apapun supaya ekspektasi tersebut dapat terpenuhi. Seketika itu juga saya merasa khawatir. Apakah kemampuan saya sebagai dokter muda nantinya dapat mewakili ekspektasi mereka?
Saya, dan mungkin teman – teman yang lain mungkin mengalami fase yang sama, fase canggung saat berhadapan dengan pasien. Berbagai macam pertanyaan serasa silih berganti muncul dalam benak saya, sebut saja : bagaimana kalau pasiennya menolak diperiksa sama koas? Bagaimana kalau pasiennya tidak percaya saya? Bagaimana kalau saya salah ngomong? Bagaimana kalau saya tidak bisa menjawab pertanyaan pasien? Dan bagaimana – bagaimana lainnya, yang pada akhirnya saya sadari bahwa pertanyaan – pertanyaan tersebut adalah halangan bagi saya untuk maju.
Masih jelas dalam ingatan saya, saat memeriksa pasien, saya masih minta ditemani oleh teman kelompok, jadi memeriksa pasien bersama – sama, berdua atau bahkan bertiga. Namun lama – lama saya mencoba mencari celah, bagaimana menghilangkan rasa canggung ini.
Kebetulan, saat awal – awal koas, pasien berusia lanjutlah yang banyak saya temui. Mungkin juga karena stase pertama saya adalah stase Ilmu Penyakit Dalam, pasien yang saya temui orang dewasa, bahkan mungkin boleh dikatakan, bahwa mayoritas pasien adalah manula. Simbah Putri dan Simbah Kakung. Kebanyakan dari mereka menggunakan bahasa Jawa, seperti gayung bersambut, karena kebetulan saya juga mengerti bahasa Jawa, akhirnya saya coba berkomunikasi dalam bahasa Jawa juga. Sungguh di luar dugaan, pasien menjadi sangat dekat dengan saya. Tak jarang sebagian dari mereka menceritakan hal – hal pribadi yang bahkan tidak pernah saya tanyakan, mulai bagaimana kehidupan rumah tangganya, bagaimana harta bendanya dirampok, bagaimana kondisi ternaknya dan lain sebagainya, bahkan beberapa pasien sampai pernah menangis di depan saya. Nah lho, saya bingung juga. Untunglah saya punya kata – kata andalan yang sanggup menghentikan tangis mereka. Kata – kata favorit saya adalah : “Gusti Allah niku mboten nate sare” atau kalau dibahasa Indonesiakan menjadi “Tuhan itu tidak pernah tidur”. Kalau sudah begitu mereka jadi lebih tenang. Saya juga ikut tenang.
Ragam pasien yang saya temui menuntut saya untuk cepat membaca situasi. Latar belakang pendidikan dan sosial ekonomi dan juga kondisi pasien sendiri yang amat beragam menuntut saya untuk cepat beradaptasi. Pernah suatu ketika, saya menghadapi pasien di UGD yang menolak disentuh oleh koas seperti saya. Pihak keluarga berbisik satu sama lain, mengatakan hal senada “jangan mau diperiksa koas, orang sakit kok dijadikan bahan belajar”. Kalau sudah begitu, saya memilih mundur untuk sementara waktu dan mencari celah pada kesempatan yang lain, bila memungkinkan. Istilah menjadikan pasien sebagai ‘bahan pembelajaran’ rasanya tidak tepat, sebaliknya, saya memperlakukan pasien seperti ‘guru’ saya sendiri. Dari mereka saya belajar tentang banyak hal. Tidak sekedar bagaimana melakukan pemeriksaan ini itu, tapi juga bagaimana melakukan pendekatan secara holisitik, bagaimana membuat mereka nyaman dengan saya, dan yang paling penting tentu saja untuk mendampingi mereka menuju pada kesembuhan dan kesehatan optimal.
Saking beragamnya pasien yang saya jumpai, terkadang saya juga menemukan pasien yang unik. Tersebutlah seorang bapak tua, simbah kakung, yang datang ke UGD, pada waktu itu, saya hendak memasukkan obat, intra vena, melalui pembuluh darah balik (vena) pasien. Tentu saja untuk memasukkan obat tersebut saya harus menyuntik pasien. Berhubung pasien ini pasien sepuh, langsung saya keluarkan jurus bahasa Jawa saya, “Nuwun sewu pak, kawula suntik rumiyin nggih? Sakit sekedhap nggih mangke, mbonten napa – napa tho pak?” (Permisi pak, saya suntik dulu ya? Nanti agak sakit sebentar, tidak apa – apa kan pak?) yang saya sampaikan dengan penuh senyum. Bapak itu mengangguk sambil menutup mata karena agak takut.”Nuwun sewu pak, diampet sekedhaaap nggih “ (permisi pak, ditahan sebentar ya) lalu saya menyuntikkan obat. “Sampun pak, sakit mboten?” (Sudah pak, sakit tidak?) Dan bapak itu pun tersenyum nyengir, dengan gagah bapak itu berkata “Mbooooten, wong sing nyuntik ayu yo ora lara...” (Tidaaaak, kan yang menyuntik cantik, jadi tidak sakit). Sontak tawa di UGD pecah, keluarga pasien tertawa, perawat yang kebetulan mendengar juga ikut tertawa, bagaimana dengan saya? Tentu saja saya tertawa bahagia, bukan karena dibilang cantik lho.. hehe, tapi karena saya diterima dan dihargai, saya mendapatkan tempat di mata pasien.
Pengalaman tak terlupakan lainnya, adalah ketika saya mendampingi pasien hingga pasien tersebut akhirnya meninggal. Waktu itu saya ditugaskan di Tegalyoso, Klaten selama 4 minggu. Di minggu pertama ada seorang pasien datang dalam keadaan sakit. Rasanya tidak perlu saya jabarkan lebih lanjut mengenai kondisi almarhumah. Dalam perawatan di Rumah Sakit, kondisi pasien kadang membaik kadang memburuk, hingga pada akhirnya beliau meninggal setelah hampir 3 minggu dirawat, dan kebetulan, sayalah yang ‘mengonangi’ atau ‘menemukan’ tanda – tanda kritis beliau saat follow up rutin pagi, hingga saya sendirilah yang melakukan resusitasi jantung – paru untuk beliau terakhir kalinya. Di situ saya mendapat ungkapan terima kasih yang tulus dari suami pasien, karena telah sabar dan telaten merawat istrinya, walau akhirnya beliau kembali menghadap Sang Khalik. Di situ saya sungguh trenyuh. Saya ingat betul bagaimana si bapak mengulurkan tangannya dan mengucapkan terima kasih kepada saya. Saya diam, saya membisu, dan saya bingung. Saya balas jabatan tangan beliau, saya tepuk pundaknya, dan saya katakan, ‘ndherek belasungkawa pak, kula nyuwun pangapunten, niki sampun dados kersanipun Gusti.’ (Turut belasungkawa pak, saya minta maaf, ini sudah menjadi kehendak yang Kuasa). Bapak itu mengangguk, meminta waktu untuk mendekap istrinya, untuk kali terakhir. Saya pun berlalu dari situ. Tanpa sadar, air mata saya ikut keluar.
Begitulah sekelumit dari cerita saya sebagai seorang koas. Banyak lagi kisah – kisah mengesankan dengan pasien, yang mungkin tidak akan habis kalau saya tuliskan satu per satu. Setiap pasien itu unik. Sekalipun penyakitnya sama persis, tapi berbeda orang berbeda kondisi pula.
Banyak hal yang dapat saya petik dari pasien saya, yang paling dekat adalah bagaimana pentingnya menghargai kesehatan, mensyukuri dan memeliharanya. Saya juga diingatkan bahwa Medicine allows me to do NO mistake, saya harus belajar dan terus belajar, mengumpulkan bekal untuk dapat melayani pasien. Selain itu saya juga merasa diingatkan kembali akan misi saya untuk selalu membahagiakan dan membanggakan kedua orang tua saya sebagai wujud terima kasih saya yang sebesar – besarnya, saya ingin mereka dengan bangga berucap “Yes, she is our daughter” . Saya juga belajar akan buah dari kasih, yaitu pelayanan, bagaimana melayani pasien dengan sepenuh hati, tanpa kenal lelah, bahkan saya selalu mengatakan pada diri saya sendiri, default mode wajah saat bertemu pasien adalah tersenyum, bukan senyum yang meremehkan, melainkan senyum sebagai simbol keterbukaan, sebagai tanda, saya siap untuk melayani mereka! itu sudah menjadi harga mutlak yang tidak dapat ditawar lagi :)
“Because, no one is born as a doctor. They are made to become a doctor. Just like butterfly does not appear in this world straight as an alive buterfly but starts from caterpillar instead..” –Andreas Kurniawan -