Sudah sekian lama saya tidak menulis blog. hehe, my fault, my bad. Ya, tidak terasa saya sudah selesai koas. sudah selesai UKDI juga, dan saat ini saya masih menunggu pengumuman, menunggu pelatikan, dan menunggu magang. Semoga segala sesuatunya dapat berjalan dengan baik dan lancar.. amiiin... :) Nah, di sela hari - hari 'nganggur' itupun saya mencoba kembali aktif menulis blog. Dan, saya tidak menyangka, ternyata ada satu posting, yang tersangkut di folder "draft". Posting ini saya tulis sekitar 2 tahun lalu, tepatnya sebelum saya koas. Sebenarnya saya ingin membagikan posting yang baru, namun tidak ada salahnya saya menambah satu entry posting lama yang satu ini. Jujur saja, posting ini bagaikan hadiah untuk saya, lewat 'saya dua tahun lalu' saya seakan mendapat energi baru. Energi yang selalu mengingatkan saya untuk berjuang berjuang dan berjuang.
"Menjadi dokter bukan perkara dapat gelar lalu tersenyum lebar. Menjadi dokter adalah hutang kemanusiaan; panggilan; serta pengabdian..."Maka sengaja saya biarkan posting lama ini apa adanya, tidak saya edit lagi. ini pure posting dua tahun lalu yang tersangkut di draft, sumonggo :)
Minggu lalu, saya mengantar adik saya untuk potong rambut di salon langganan dekat rumah. Seperti biasa, layaknya seorang kakak yang menemani adik, saya hanya duduk di kursi tunggu, melempar pandangan sekenanya ke apapun objek yang melintas di hadapan saya. Tidak berselang berapa lama, seorang anak kecil yang merupakan cucu dari pemilik salon mendekati saya. Saya tersenyum balik ke arahnya, di luar dugaan, anak kecil ini malah menempel ke saya, wah, dia suka berada di dekat saya.
Itulah, posting saya dua tahun lalu. Bahkan ketika membuat entry ini saya masih tertegun, "Pernah ya saya membuat posting begini?". Satu pembelajaran buat saya. Dimensi ilmu kedokteran itu amat sangat luas. Pendekatan dari segi medis mutlak harus dilakukan, prioritas nomor wahid malahan; namun ada hal mendasar yang lebih penting; pendekatan secara holistik yang mencakup aspek medis - non medis; jiwa - raga juga harus menjadi prioritas :)
Dalam atmosphere itu saya mengajak anak kecil berumur 2 tahunan itu untuk bermain, mulai mengajaknya duduk, menjabat tangannya, sekaligus melontarkan pertanyaan klise seperti menanyakan siapa namanya yang memang hanya dibalas dengan lontaran senyum tulus ala anak kecil. Agaknya kesibukan si anak yang berada di dekat saya menarik perhatian ibunya, ibunya pun datang mendekati si anak dan juga mendekati saya, dan bersiap untuk mengajak saya berbincang.
Sudah lulus? Pertanyaan itu yang spontan terlontar dari bibirnya. Maklum bukan Cuma sekali dua kali saya datang ke salon itu, si ibu juga sudah tau bahwa saya sekolah di fakultas kedokteran UGM. Saya pun tersenyum menjelaskan bahwa saat ini saya sedang menunggu wisuda dan koass. Obrolan kami pun merambat lebih jauh.
Awalnya dia hanya semacam berkonsultasi mengenai kesehatan buah hatinya, lambat laun, obrolan pun bergulir. Saya tidak tahu, apa ini namanya, apakah curhat colongan atau sedang ngrasani, saya juga bingung. Intinya, dia menyebutkan nama seorang dokter anak di kawasan tempat tinggal kami, oh wajar, begitulah dokter, dari mulut ke mulut ceritanya cepat menyebar. Mungkin dia berpikir bahwa saya mengenal si dokter itu, saya hanya tersenyum, menjelaskan bahwa kendati saya seorang mahasiswa kedokteran, tidak semua dokter saya kenal. Kemudian dia mendeskripsikan lebih jauh, sampai akhirnya saya mengenali di mana tempat praktik si dokter itu, oya, saya tahu, sepertinya saya pernah lewat.
Awalnya, dia menyanjung si dokter, mengatakan bahwa banyak sekali pasien yang antri, biaya pemeriksaannya juga relatif lebih murah dibandingkan dokter yang lain. Pada saat itu saya sempat membatin, mudah – mudahan kelak kalau saya jadi dokter citra saya di mata masyarakat juga seperti itu baiknya. Tapi lamunan saya itu menguap cepat setelah si ibu melanjutkan ceritanya. Waktu itu, si ibu sedang hamil anak kedua, sudah mendekati waktu perkiraan lahir, perutnya mulai mules- mules tidak karuan, lucunya, si anak pertama, juga ikut merasakan sakit perut, si anak pertama yang waktu itu berumur 3 tahunan menangis rewel bukan kepalang, karena panik, si ibu membawa anak pertamanya yang sakit itu ke dokter anak tadi.
Dan satu hal yang sangat mengejutkan, setelah anamnesis sebelum pemeriksaan fisik, si dokter menarik kesimpulan bahwa si anak sakit tipus, selanjutnya si dokter langsung meminta si anak untuk diopname. Si ibu kontan protes, belum ada pemeriksaan laboratorium pada saat itu, bagaimana bisa vonisnya langsung keluar? Si ibu tidak berani melawan, hanya manggut-manggut, lalu pamit. Sederhana. Si ibu pun mencari dokter lain.
Dokter lain itu memiliki opini tersendiri mengenai kondisi si anak. Pada waktu itu, si dokter lain menjelaskan ke ibu, “Bu, ini memang sulit dipercaya, tapi percayakah ibu bahwa anak ibu ini sakit karena adiknya mau lahir? Bu, saya ini seorang bapak, dulu waktu istri saya mau melahirkan saya juga ikutan mulas bu. Saya tidak punya dasar medis untuk menjelaskan hal ini. Ini anak ibu saya kasih obat, obatnya bikin ngantuk, supaya anak ibu bisa tidur pulas dan istirahat. Percaya sama saya, begitu ibu melahirkan, anak ibu juga pasti sembuh.”
Tadaaaa! Dan benar saja, setelah si ibu melahirkan anak kedua dengan selamat, si anak pertama kini sembuh sehat sentosa. Setelah ibu selesai bercerita, saya pun hanya bisa terdiam. Antara percaya dan tidak percaya. Betapa luasnya dimensi ilmu kedokteran. Seorang dokter tidak hanya cukup berpijak pada textbook, pada jurnal – jurnal scientifik, tetapi juga perlu berpijak pada hal – hal yang sulit dijelaskan dengan logika berpikir, akuilah ada kekuatan yang lebih maha, kekuatan Sang Pencipta yang tidak akan pernah bisa kita jangkau dengan akal pikiran ilmu pengetahuan.
Saya hanya bisa bersyukur pada Tuhan akan sapaanNya yang luar biasa untuk saya. Pertama saya diingatkan, bahwa menjadi seorang dokter perlu super hati – hati dalam menyimpulkan suatu diagnosis, jangan terlalu cepat dan juga jangan terlambat. Dan satu poin lagi, dokter itu bukan dewa atau dewi penyembuh, dokter hanyalah mediator, perpanjangan tangan Tuhan untuk menolong mereka yang sakit.
"Human is a living creature. They have their own perspectives. It is not just apparently disease; i remind. It is called as illness. And illness may be defined as one package of diseases and human perspectives."
- Winda -