Minggu, 08 Mei 2011

Pura - pura Sakit


Pernahkah anda pergi ke dokter? Saya yakin, bagi anda yang tinggal di daerah perkotaan, di mana akses terhadap pelayanan kesehatan relatif mudah pasti pernah pergi ke dokter. Ada banyak alasan mengapa orang pergi ke dokter. Alasannya pun bervariasi satu sama lain, secara garis besar, menurut Merck Manual, ada dua alasan orang untuk berjumpa dengan dokter. Yang pertama, dalam rangka Routine Visits, untuk alasan ini, pasien tidak merasakan adanya masalah kesehatan, tujuan melakukan routine visits hanyalah untuk sekedar check up atau kontrol rutin. Yang kedua, dikenal dengan istilah Visits for Problem(s), seperti namanya, kunjungan tipe seperti ini identik dengan adanya gejala yang membuat si pasien tidak nyaman, mudahnya, si pasien memang sedang sakit dan membutuhkan atensi medis.

Tapi pernahkah terpikirkan oleh anda, bahwa di luar alasan yang sudah saya sebutkan di atas, terkadang ada alasan lain mengapa seseorang menemui dokter? Alasan yang satu ini mungkin saja terdengar aneh bagi anda, bagaimana bisa seseorang pura – pura sakit agar bisa berjumpa dengan dokter? Dulu, sebelum mempelajari ilmu kedokteran saya mungkin hanya bisa berkomentar “apaan sih, orang nggak sakit kok pura – pura sakit, nanti malah sakit beneran lho..”

Dalam dunia medis sendiri, ada berbagai macam istilah yang menggambarkan orang yang pura – pura sakit tersebut, sebut saja, setidaknya ada tiga istilah yang sama – sama merepresentasikan kondisi tersebut, antara lain : malingering, hypochondriasis, dan Munchausen Syndrome. Ketiga istilah ini seolah bagaikan istilah yang serupa tapi tak sama, mari kita coba untuk membahasnya satu per satu.
 
Secara harafiah, malingering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “kepura-puraan”. Yang cukup menarik bagi saya, malingering ternyata bukanlah penyakit mental (mental illness). Dalam DSM- IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi ke empat) malingering sendiri dikategorikan dalam “other conditions” yang mungkin memerlukan fokus perhatian medis. Bagaimanakah malingering itu sebenarnya? DSM IV kembali menyebut demikian:

"The essential feature of Malingering is the intentional production of false or grossly exaggerated physical or psychological symptoms, motivated by external incentives such as avoiding military duty, avoiding work, obtaining financial compensation, evading criminal prosecution, or obtaining drugs."
 
Baik, mungkin menjadi membingungkan kalau kita hanya membaca definsinya saja. Begini, sebut saja ada seorang pegawai, karena belum selesai mengerjakan tugas yang diperintahkan atasannya dia takut untuk masuk kantor, takut dimarahi oleh bos nya, oleh karena itu, dia datang ke dokter, mengaku bahwa perutnya sakit sekali sampai melilit – lilit, ujung – ujungnya dia meminta surat keterangan sakit dari si dokter agar dia dapat beristirahat di rumah. Selepas dari ruang praktek dokter dia kembali sehat walafiat, segar bugar, bisa berjalan cepat dan tertawa lepas. Hal ini diketahui oleh perawat yang kebetulan keluar ruangan bersamaan dengan pasien. Jadilah, si pasien tertangkap basah telah melakukan tindakan pura – pura / malingering.

Agak sedikit berbeda dengan malingering, pasien yang memiliki hypochondriasis cenderung bersikap berlebihan terhadap keadaan yang sesungguhnya normal. Dalam kondisi ini, umumnya pasien merasakan adanya gejala fisik (yang seolah membuat pasien berpikiran bahwa dirinya sakit) namun penyebab fisik nya sebetulnya tidak ada atau dengan istilah lain bisa juga disebut dengan somatisasi atau ‘medically unexplained symptoms’.
 
Seorang hypochondriac mempunyai ciri tak henti-hentinya memeriksa kondisi tubuhnya sendiri dari hari ke hari (constant self-examination) dan membuat diagnosa sendiri (self diagnosis). Dia benar-benar terobsesi dengan tubuhnya sendiri (preoccupied), sehingga gangguan-gangguan kesehatan kecil saja sudah membuat dia panik dan merasa sedang diserang penyakit yang mematikan. Sebagai contoh, ketika seorang hypochondriac mengalami sakit kepala, bisa saja dia berpikir bahwa dia memiliki kanker otak. Kondisi hypochondriac ini sering kali diikuti oleh gejala kejiwaan lainnya seperti perasaan cemas, depresi, dan juga penyakit obsesif – kompulsif.
 
Lalu bagaimana dengan Munchausen Syndrome? Cleveland mendefinisikan syndrome ini sebagai berikut:
 
Munchausen syndrome is a type of factitious disorder, or mental illness, in which a person repeatedly acts as if he or she has a physical or mental disorder when, in truth, he or she has caused the symptoms. People with factitious disorders act this way because of an inner need to be seen as ill or injured, not to achieve a concrete benefit.
 
Apabila sekilas anda membaca definisi di atas, mungkin anda akan kembali teringat dengan malingering. Ya, Munchausen syndrome memang mirip dengan malingering, yang membedakannya dengan malingering adalah tujuannya. Kalau malingering cenderung memiliki motivasi eksternal untuk mendapatkan keuntungan tertentu, motivasi sindrom munchausen justru timbul dari dalam diri pasien (misalnya untuk mendapatkan perhatian dari pihak keluarga) dan tanpa dilandasi keinginan untuk mendapatkan keuntungan yang konkrit.
 
Orang dengan Munchausen ini ingin dianggap sebagai si sakit. Tidak heran tipe orang seperti ini muncul menemui sang dokter dengan berbagai macam gejala – gejala medis, mulai dari nyeri dada, nyeri perut, sampai nyeri – nyeri yang lainnya. Dan salah satu tanda yang khas adalah apabila hasil pemeriksaan negatif untuk suatu penyakit atau tes laboratorium tertentu, maka si pasien akan memunculkan gejala – gejala baru.
 
Penyebab pasti munchausen syndrome ini belum diketahui secara pasti, namun beberapa sumber menyebutkan bahwa sindrom ini memiliki keterkaitan dengan riwayat penganiayaan anak (abused children) , neglected children (anak – anak yang tidak mendapatkan perhatian orang tuanya dengan baik) dan juga seringnya frekuensi keluar masuk rumah sakit (frequent hospitalization).
 


Nah, bagaimana menurut anda? Ternyata pura – pura sakit ada banyak macamnya kan? Nah, hal ini pulalah yang menjadi tantangan bagi saya dan rekan yang nantinya berhadapan dengan pasien. Seorang dokter harus jeli dan tidak boleh langsung percaya dengan apa yang dikatakan pasien, apalagi di jaman serba modern ini akses terhadap informasi kesehatan tidaklah sulit. Sederhananya, andaikan saya seorang awam pun, saya tinggal mencari informasi tentang gejala suatu penyakit di google, lalu saya peragakan di depan dokternya. Tidak sulit kan? Tapi tenang saja, sekalipun anda berbohong dengan kata- kata, hasil dari pemeriksaan fisik dan penunjang tidak akan pernah bohong. Itulah mengapa ilmu kedokteran membutuhkan pendekatan yang holistik, pendekatan yang menyeluruh dari berbagai aspek dan sudut pandang. Tidak heran kalau sekolah kedokteran makan waktu yang lama.. hehe..



“Everybody lies”
-House, M.D.-
Referensi :

Oxford Handbook of Clinical Specialities
http://www.merckmanuals.com/home/sec01/ch004/ch004c.html
http://emedicine.medscape.com/article/293206-overview#a0101
http://www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=18717
http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2011/04/08/hypochondriac-penderita-penyakit-fiktif/
http://my.clevelandclinic.org/disorders/factitious_disorders/hic_munchausen_syndrome.aspx

Tidak ada komentar:

Posting Komentar