Setiap bencana pasti meninggalkan duka dan luka. Masih jelas di ingatan kita akan peristiwa gempa bumi yang melanda daerah Bantul dan sekitarnya telah menelan korban meninggal dunia sebanyak 5.413 orang dan puluhan ribu orang cedera. Tidak hanya itu saja, selain kehilangan sanak saudara, para korban gempa juga kehilangan tempat tinggal. Bangunan rumah mereka hancur. Rata dengan tanah. Buntut berarti ekor, pada posting ini saya ingin lebih menyoroti akan perubahan yang terjadi dalam hidup mereka yang terjadi secara drastis dan tiba – tiba, keadaan inilah yang nantinya berujung pada mental illness atau gangguan kejiwaan sebagai buntut bencana.
Center for Disease Control and Prevention, menggambarkan fase dalam bencana ke dalam sebuah grafik sebagai berikut:
Naik turunnya grafik, sesungguhnya cukup menggambarkan bagaimana keadaan kejiwaan seperti emosi dan tingkah laku (emotional and behavioral) dari para korban bencana. Seperti yang kita lihat, ada beberapa fase dalam grafik di atas, dengan penjelasan sebagai berikut:
- Fase Pre Disaster (Pra Disaster) menggambarkan keadaan korban sebelum terjadinya bencana, pada phase ini mereka menerima adanya peringatan (warning) mengenai kemungkinan terjadinya bencana dari kalangan media maupun pemerintah. Akhir dari fase ini adalah adanya threat atau ancaman yang membuat para korban menjadi khawatir dan bahkan mungkin menjadi panik.
- Fase Impact / inventory menggambarkan kondisi ketika bencana terjadi. Saat bencana terjadi, seseorang akan merasa sangat down, shock, karena kehilangan harta benda dan atau sanak saudara, namun kebanyakan kondisi mereka ini akan cepat pulih karena mereka akan memfokuskan diri dengan bagaimana melindungi dan menyelamatkan diri mereka dan keluarga yang tersisa. Kebanyakan dari mereka akan merasakan berbagai macam emosi seperti ketakutan, kehilangan, merasa belum ada bantuan yang datang sehingga mereka cenderung memilih untuk terjun langsung membantu sesamanya yang terkena bencana. Pada saat yang bersamaan mereka juga merasakan adanya fase inventory, dengan membandingkan keadaan sebelum bencana dan keadaan sesudahnya, mereka kembali mengingat harta benda yang telah hilang atau rusak sekaligus merasakan kesedihan yang mendalam.
- Fase heroik. Apabila kita amati pada grafik, pada fase ini terjadi peningkatan kondisi kejiwaan dari para korban. Para korban merasa mulai menemukan harapan kembali. Mereka sudah mulai menerima keadaan mereka. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan banyaknya intervensi dari luar. Orang – orang mulai tergerak dan berempati untuk memberikan bantuan. Relawan mulai berdatangan, bantuan juga mulai berdatangan. Mereka kini merasa aman dan terlindung.
- Fase Honey Moon mengikuti fase heroik. Pada fase ini, para korban sedang “bahagia” lagi – lagi karena adanya intervensi dari pihak luar yang membuat mereka sempat terlena. Adanya intervensi dari pihak luar membawa mereka pada harapan bahwa keadaan akan segera membaik dan kembali seperti semula. Mereka juga menjadi semangat bahu membahu untuk membangun kembali daerahnya.
- Fase Disillusionment (kekecewaan). Setelah melewati fase honeymoon ini, seperti yang terlihat di grafik, kondisi korban mengalami penurunan yang cukup drastis, sangat parah bahkan melebihi kondisi saat bencana terjadi. Mengapa dapat terjadi hal seperti itu? Hal itu disebabkan karena intervensi dari pihak luar yang mulai menghilang. Tidak lagi ada relawan yang membantu mereka, mereka harus berjuang sendiri. Mereka merasa kecewa, frustasi, marah, dan benar – benar merasakan pahitnya hidup. Hidup mereka tidak akan pernah sama dengan yang dulu.
- Fase Reconstruction. Fase ini berjalan lebih lambat dari fase – fase lainnya, namun grafik pada fase ini mulai dan terus meningkat. Pada fase ini mereka mulai membangun hidup kembali. Dengan modal bantuan dari pemerintah dan harta yang tersisa, merka mulai membangun kembali tempat tinggal dan usaha mereka. Namun, pada fase ini mungkin pula terjadi “Trigger events” atau faktor pemicu yang membuat mereka kembali jatuh sesaat. Seperti fase ketika mereka mengingat kembali bencana itu.
Rangkaian fase bencana di atas membawa suatu reaksi kejiwaan tertentu bagi para korbannya. Kejadian itu saya gambarkan sebagai buntut bencana. Sebagian mereka ada yang bereaksi pada tingkat rendah, seperti terbatas pada kecemasan, keputusasaan, sulit tidur. Ada pula yang memiliki reaksi sedang seperti gejala susah tidur dan juga kecemasan yang terus menerus. Dan yang paling parah adalah mereka yang mengalami depresi dan post traumatic stress disorder (PTSD).
Post Traumatic Stress Disorder adalah kondisi yang ditandai dengan adanya ketakutan yang amat sangat, merasa tidak ada bantuan, dan tertekan setelah terjadinya bencana atau even yang traumatis lainnya (seperti kecelakaan, pembunuhan). Seseorang yang mengalami PTSD akan cenderung merasa kembali mengalami kejadian yang mebuatnya trauma (reexperiencing) dan merasa harus menghindari hal hal yang terkait dengan bencana (avoidance). Misalnya, seseorang yang menjadi korban gempa bantul ketika merasakan adanya getaran karena ada truk besar yang lewat di depan rumah lantas menjadi berteriak histeris ketakutan dan mengira telah terjadi gempa besar lagi.
Sedangkan depresi lebih ditandai dengan hilangnya motivasi atau semangat hidup. Mereka merasa “nglokro” tidak ingin melakukan apa – apa, cenderung menyendiri dan menarik diri dari orang – orang di sekitarnya, merasa sedih yang mendalam, mereasa hidupnya tidak lagi berarti, dan bahkan berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
Reaksi yang parah tersebut dapat muncul karena adanya faktor – faktor resiko seperti :
- Trauma dan Stress karena kehilangan orang yang dicintai, kehilangan seluruh harta benda, menjadi sebatang kara, tinggal di lingkungan yang sama – sama trauma.
- Karakter korban. Sebagai contoh wanita lebih beresiko terkena reaksi kejiwaan yang berat dibandingkan dengan pria
- Konteks dalam keluarga. Misalnya seorang ibu yang kehilangan suaminya, sementara dia masih harus membesarkan anak – anaknya yang masih kecil seorang diri
- Konteks masyarakat di sekitar dan lingkungan. Contohnya seperti tidak ada bantuan, terutama bantuan mental (mental support) dari keluarga atau kerabat terdekat.
Tampaknya, buntut bencana inilah yang perlu menjadi perhatian kita bersama. Jangan hanya menolong atau memberikan support sampai pada fase honeymoon saja, tetapi kita tetap harus memberikan support hingga fase reconstruction. Untunglah, hal semacam ini sudah dipikirkan oleh pemerintah kita. Dengan adanya fase recovery (pemulihan) dalam bencana, diharapkan para korban juga akan diantar dan didampingi untuk memasuki fase reconstruction. Namun sekali lagi, hal ini membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak. Apa yang bisa kita lakukan? Sederhana saja, coba lihat di sekitar kita, apabila kita menemui orang – orang yang memiliki faktor resiko seperti di atas, kita wajib mendampingi dan memberikan support bagi mereka.
Sumber:
- Center for Disease Control and Prevention.Disaster Mental Health. http://www.bt.cdc.gov/mentalhealth/primer.asp
- National Center for Post Traumatic Stress Disorder. Mental Health Reactions after Disaster. http://www.ptsd.va.gov/professional/pages/handouts-pdf/Reactions.pdf
- Cedar Rapids Counseling and Psychotherapy Group. Phase of Disaster. http://www.corridorrecovery.org/docs/Health/Health%20CR%20Counseling%20Presentation.pdf
- New England Journal of Medicine. Moving Mental Health into Disaster – Preparedness Spotlight. August 2010. http://healthpolicyandreform.nejm.org/?p=10829
- Post Traumatic Stress Disorder. Medline Plus. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/posttraumaticstressdisorder.html
- Depression. Medline Plus. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/depression.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar