Profesi dokter, menurut saya adalah profesi yang unik. Mengapa? Di satu sisi profesi ini membawa suatu kebanggaan yang luar biasa, namun di sisi lain, posisi ini juga bagaikan beban. Bagaimana tidak? Seorang dokter selalu dihadapkan dengan nyawa manusia. Nyawa! Oleh karena itu, penting bagi seorang dokter untuk dapat bersikap professional, dimanapun dan kapanpun dia berada. Di sini, saya hanya ingin berbagi, sama sekali tidak bermaksud menggurui, karena saya sendiri masih belajar dan berusaha untuk menjadi seorang dokter yang professional di masa mendatang.
Baiklah, pertama – tama, mari kita coba untuk mendefinikan kata profesional terlebih dahulu. Saya menemukan definisi yang cukup jelas mengenai profesionalisme justru dari kamus bisnis, sebagai berikut:
"Person formally certified by a professional body of belonging to a specific profession by virtue of having completed a required course of studies and/or practice. And whose competence can usually be measured against an established set of standards"
Berdasarkan definisi saja, ternyata dapat kita lihat bahwa ada beberapa unsur dalam istilah professional, seseorang dapat dikatakan professional apabila dia telah mendapatkan sertifikat setelah mengikuti suatu pelatihan/ pendidikan tertentu sehingga memiliki kompetensi yang dapat diukur seturut dengan standard yang telah ditetapkan.Itulah mengapa profesi selalu mengacu pada hal yang spesifik.
Profesionalisme sendiri, pada umunya meliputi 3 hal yaitu: Knowledge (pengetahuan), Skill (ketrampilan), dan Attitude (sikap). Ketiga hal tersebut harus dapat ditampilkan oleh seseorang secara sinergi, baru dapat dikatakan sebagai orang yang profesional.
Ada pula pendapat yang mengemukakan bahwa profesional berarti juga mencakup dan memenuhi seluruh dimensi keilmuan meliputi cognitive, psychomotor, affective yang mampu menggambarkan Intellegent Quatient dan Emotional Quatient seseorang.
Namun perlu kita sadari pula bahwa belakangan mulai muncul berbagai opini yang menyebutkan bahwa profesionalitas seorang dokter mulai luntur. Hal itu ditandai dengan adanya kesalahan dalam tindakan medis (mal praktek) yang berakibat buruk bagi pasien, seperti kesalahan diagnosis atau kesalahan pengobatan. Padahal, sebetulnya kesalahan itu dapat dihindari.
Kebetulan ketika mencari bahan untuk menulis artikel ini, saya secara tidak sengaja menemukan artikel yang berjudul “Profesionalitas Dokter Telah Dikomersialisasi” yang direlease oleh Gatra.com. Dalam artikel itu disampaikan bahwa ada seorang dokter yang melimpahkan tugasnya kepada dokter lain untuk melakukan suatu tindakan operatif tanpa memberitahu pihak pasien dan keluarganya terlebih dahulu. Hal ini disebut sebagai tindakan yang melanggar UU Pasal 51 & 79 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran dan UU Keterbukaan Informasi Publik. Selain itu dalam kasus yang sama, terjadi pula pembengkakan biaya medis yang sangat besar tanpa adanya informasi yang diberikan kepada keluarga pasien.
Berdasarkan artikel di atas, apakah dokter tersebut sepenuhnya salah? Saya tidak ingin menghakimi. Bisa saja pada saat itu dokter yang bersangkutan sedang sakit, sehingga harus digantikan. Sementara pembengkakan biaya medis itu memang disebabkan karena kondisi pasien yang kurang baik. Namun yang ingin saya kritisi di sini, kejadian seperti di atas adalah kejadian yang sesungguhnya dapat dihindari. Seandainya terlebih dahulu dilakukan inform consent atau pihak dokter menjelaskan baik – baik duduk perkaranya, pasti pihak keluarga pasien dapat lebih menerima.
Sebagai dokter, dalam melakukan segala tindakan medis, seharusnya mengacu pada Prinsip Etika Kedokteran (Medical Ethics Principle) yang terdiri atas prinsip:
- Autonomy : menghormati setiap individu (pasien) dan kemampuannya dalam membuat keputusan yang terkait dengan kesehatan dan masa depannya.
- Beneficience : segala tindakan dilakukan dan dimaksudkan demi memberikan keuntungan/ benefit terhadap pasien
- Non – Maleficience : segala tindakan tidak boleh membahayakan keselamatan pasien.
- Justice : bersikap adil dan tidak membeda – bedakan pasien
Apabila seorang dokter melanggar prinsip di atas, bisa saja dia diperkarakan. Mau tidak mau harus berurusan dengan hukum. Di Indonesia, terdapat lembaga pemerintahan yang disebut sebagai Konsili Kedokteran Indonesia (KKI) yang bertugas untuk melakukan registrasi dokter dan dokter gigi, mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi dan melakukan pembinaan termasuk pengawasan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran.
Di bawah Konsili Kedokteran Indonesia, berdiri pula suatu lembaga otonom yang disebut sebagai Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang memiliki tugas lebih spesifik yaitu untuk menerima pengaduan, pemeriksaan, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan. MKDKI juga bertugas menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi.
Jadi, sederhananya, MKDKI ini bertugas untuk memberikan teguran lisan dan tertulis bahkan sampai dengan pencabutan surat izin praktek seorang dokter apabila terdapat pelanggaran yang dilakukan.
Dari penjelasan di atas. Dapat saya simpulkan bahwa pada jaman sekarang ini, profesionalitas seorang dokter sangatlah penting untuk selalu dimiliki dan dijaga. Masyarakat sudah semakin kritis. Kalau dulu, mereka masih bisa “menerima” kesalahan dokter atau para penyedia pelayanan kesehatan yang lain, tapi kalau sekarang? Kata “menerima” atau “mengikhlaskan” kesalahan dokter tampaknya telah terbenam dalam sebuah kata baru yaitu : “menuntut”. Jadi? Berhati – hatilah dalam bertindak dan berusahalah selalu bersikap professional.
Sumber:
- Online Bussiness Dictionary
- Jalur pengaduan kelalaian medis. http://www.scribd.com/doc/38235465/Ada-Beberapa-Jalur-ian-Dugaan-Kelalaian-Medis
- Medical Ethic. Dr. Ben Green. http://priory.com/ethics.htm
- Tugas dan fungsi KKI. http://www.hukor.depkes.go.id/?art=17&set=10
- Profesionalitas Dokter Dikomersialisasi. http://www.gatra.com/2010-03-19/artikel.php?id=135867
Tidak ada komentar:
Posting Komentar