Jumat, 03 Desember 2010

Globalisasi Kesehatan dalam Perspektif AFTA


Istilah era globalisasi mungkin sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Ya, istilah ini semakin sering digembor – gemborkan orang semenjak memasuki abad 21 ini. Era globalisasi ini mempengaruhi banyak sektor, termasuk di dalamnya sektor kesehatan. Ada beberapa contoh mengenai dampak globalisasi pada sektor kesehatan, seperti:

  • Meningkatnya mobilitas profesional kesehatan dari suatu negara ke suatu negara lain
  • Meningkatanya mobilitas konsumen kesehatan (pasien) yang pergi ke luar negri untuk mendapatkan perawatan medis
  • Meningkatnya perusahaan asing dan perusahaan asuransi asing di dalam negri

Fenomena ini juga terjadi di Indonesia. Salah satu faktor pemicu globalisasi kesehatan di Indonesia adalah dengan adanya AFTA 2010.  Apa itu AFTA?  AFTA merupakan singkatan dari ASEAN Free Trade Area yang dibuat pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke IV di Singapura pada tahun 1992. Tujuan dibuatnya AFTA, tentu saja baik adanya, bagaimana tidak, negara – negara di kawasan Asia Tenggara telah bersepakat untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional Asia Tenggara sekaligus menjadikan Asia Tenggara menjadi salah satu pihak yang berpengaruh pada perdagangan dunia.

Kemudian muncul kembali pertanyaan baru. Apa hubungan AFTA dengan kesehatan? Bukankah istilah perdagangan hanya identik dengan dunia ekonomi saja? Ternyata tidak, AFTA pada kenyataannya tidak hanya mengedepankan satu aspek saja, setidaknya ada lebih dari 12 sektor yang disentuh AFTA, termasuk sektor kesehatan.



Praktek AFTA sendiri sebenarnya sudah dimulai pada tahun 2003 untuk 6 negara pendiri ASEAN (Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Brunnei Darussalam) sedangkan pada tahun 2010 AFTA mulai berlaku pula pada negara – negara lain yang tergabung dalam ASEAN seperti Kamboja, Laos, Myannmar, dan Vietnam.

Kembali kita dihadapkan pada fakta, bahwa banyak masyarakat Indonesia yang memilih berobat ke luar negri. Sebut saja Singapura. Bahkan saya cukup terkejut ketika salah seorang dosen saya bercerita bahwa lebih dari 50% pasien dari salah satu rumah sakit di Singapura adalah orang Indonesia. Bahkan, saya juga sempat terkejut ketika menemukan sebuah brosur General Medical Check Up berkonsep wisata yang ditawarkan salah satu biro perjalanan ke Singapura. Belum lagi maraknya rumah sakit asing atau praktek pelayanan kesehatan asing yang menjamur di negri kita. Kalau boleh berdasar pada fakta – fakta tersebut, dari aspek kesehatan, benarkah AFTA merugikan negara kita?

 Tentu saja, dalam menanggapinya kita perlu bersikap bijaksana. Kita tidak boleh semata – mata menyalahkan AFTA. Seperti yang kita ketahui, peranan AFTA meluas di berbagai sektor kehidupan. Sektor kesehatan hanya salah satu sektor dari 12 sektor yang dijamah AFTA. Sudah semestinya kalau kita menanggapi AFTA ini dengan positif, sebagai sebuah tantangan baru yang mengajak dunia kesehatan Indonesia untuk giat berkompetisi menuju ke arah perkembangan yang lebih baik.


Tindakan kompetisi tersebut, dapat dimulai dari sumber daya tenaga kesehatan terlebih dahulu, atau dengan kata lain, mulailah dengan kualitas manusianya. Salah satu usaha untuk menciptakan sumber daya yang berkualitas adalah dengan memenuhi standar kompetensi minimum internasional seperti yang telah ditetapkan oleh The Institue for International Medical Education (IIME) yang meliputi tujuh butir aspek standar kompetensi minimum yang disebut sebagai Global Minimum Essential Requirements (GMER) yang meliputi:
  •         professional values, attitudes, behavior and ethics (nilai profesional, perilaku, kepribadian dan etika)
  •        scientific foundation of medicine ( pondasi medis yang scientific)
  •         clinical skills (ketrampilan medis)
  •         communication skills (ketrampilan komunikasi)
  •          population health and health systems (populasi kesehatan dan sistem kesehatan)
  •         management of information (manajemen informasi)
  •          critical thinking and research. (berpikir kritis dan penelitian)

Apabila kita perhatikan secara keseluruhan, ternyata GMER ini menuntut kompetensi yang tidak hanya mencakup segi keilmuan yang kuat, namun juga terkait dengan penguasaan soft skill (komunikasi,  profesionalitas, perilaku, dan etika) yang mumpuni (mahir). Kalau kita melihat GMER ini, nampaknya yang menjadi solusi penting untuk mencapai ketujuh butir kompetensi minimal di atas adalah dengan mengembangkan sumber daya tenaga kesehatan melalui sistem pendidikan yang baik. Melalui sistem pendidikan yang mencakup aspek – aspek di atas, setiap tenaga kesehatan mulai disiapkan untuk berkompetisi di masa mendatang. Mungkin bukan hasil instan yang didapat, tapi paling tidak, bangsa ini sudah menabung bibit – bibit untuk berkompetensi di kemudian hari.

Selain memperbaiki kualitas sumber daya manusianya, perlu juga diperbaiki kualitas sistemnya, seperti sistem Rumah Sakit misalnya, terdapat pergeseran mengenai konsep dan kebijakan rumah sakit pada fase pra globalisasi dan di era globalisasi sebagai berikut:

Pra Globalisasi
Era Globalisasi
  • RS adalah Lembaga Sosial
  • Anggaran dari Pemerintah
  • Pembayaran Langsung
  • Sistem Pembayaran fee for service
  • Upaya lebih ditekankan pada kuratif dan rehabilitatif
  • Terpisah dari sistem pelayanan medik wilayah Dati II
  • Kebijakan standar untuk semua RS
  • Manajemen mutu bukan inti kegiatan
  • Berorientasi pada dokter
  • RS adalah industri jasa
  • Anggaran dari masyarakat
  • Pembayaran dari masyarakat
  • Sistem pembayaran kapitasi
  • Upaya paripurna dari promotif sampai dengan rehabilitatif
  • Merupakan bagiaan dari sistem pelayanan medik Dati II
  • Kebijakan standar berbeda untuk urban dan rural
  • Manajemen mutu menjadi inti kegiatan rumah sakit
  • Berorientasi pada konsumen


Dengan adanya reorientasi tersebut, diharapkan bahwa terdapat pula pergeseran mekanisme pasar yang berujung pada berkurangnya angka pengobatan atau rujukan ke luar negeri serta pengembangan dunia kedokteran dalam negeri yang memungkinkan untuk Go International.


Selain itu, masih ada juga upaya yang dapat dilakukan untuk membatasi masuknya tenaga kesehatan asing yang melakukan praktek kesehatan di Indonesia, salah satunya melalui undang – undang.  Seperti yang dikatakan oleh dr. Kartono Mohammad , mantan ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki wewenang untuk membatasi masuknya dokter asing ke Indonesia, beliau mengatakan bahwa yang penting adalah membuat aturan tapi jangan terlalu kelihatan protektif, karena Indonesia akan dituduh melanggar AFTA. Aturan tersebut diekspresikan dalam undang – undang, sejauh ini, menurut UU no. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, dokter asing memang dibolehkan untuk membuka praktik di wilayah Indonesia. Namun peraturan pemerintah yang mengatur tentang  penyelewengan, penyalahgunaan, serta tindak pidananya belum ada.

Jadi apa kesimpulannya? Untuk menghadapai globalisasi kesehatan dalam konteks AFTA,  yang perlu kita persiapkan adalah kesiapan untuk berkompetisi. Untuk berkompetisi dibutuhkan kemampuan yang bersaing, yang mencakup berbagai aspek dalam dunia kesehatan seperti sistem, kebijakan kesehatan termasuk peraturan dan perundang - undangan, pendidikan kesehatan, dan yang jauh lebih penting adalah pembinaan sumber daya manusianya. 


Mari berkompetisi bersama, think global act local !  =)

Sumber:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar