Minggu, 05 Desember 2010

Berbagai Sisi Kompetensi Dokter



Kompetensi?  Mungkin istilah ini sudah tidak asing lagi bagi anda. Istilah kompetensi memang cukup populer dalam dunia pendidikan. Bahkan, definisi mengenai kompetensi  juga tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 045/U/2002 yang mendefinisikan kompetensi sebagai berikut:

'seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan 
tugas- tugas di bidang pekerjaan tertentu'

Secara tidak langsung, kompetensi juga menjadi  bentuk standarisasi dari kemampuan seseorang terhadap kemampuan orang lain. Seseorang diharapkan dapat mencapai atau memenuhi suatu tingkatan kompetensi tertentu sebagai suatu bentuk atas tolak ukur kemampuannya. Ini berarti pula bahwa kompetensi menjadi semacam cut off poin untuk menetapkan poin – poin apakah yang perlu dikuasai .

Bagaimana dengan kompetensi dokter di Indonesia? Kompetensi dokter di Indonesia sendiri telah distandarisasikan secara nasional pada tahun 1982 melalui Kurikulum Inti Pendidikan Dokter Indonesia (KIPDI) yang diperbarui setiap 10 tahun. Pada KIPDI I tahun 1982 dan juga KIPDI II tahun 1994 yang dititikberatkan dalam kompetensi dokter hanyalah penguasaan disiplin ilmu sehingga gambaran dokter yang dihasikan belum terinci secara eksplisit. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu format baru berupa Standar Kompetensi Dokter yang dapat mencakup area yang lebih luas, selain hanya mengandalkan penguasaan atas disiplin ilmu semata.

Standar kompetensi seorang dokter terdiri dari tujuh area kompetensi yang diturunkan dari gambaran tugas, peran, dan fungsi seorang dokter dalam Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) strata pertama yang secara sistematis dapat dilihat melalui bagan berikut:


Sedangkan tujuh area kompetensi dokter tersebut meliputi :
  • Area komunikasi efektif; mampu menggali dan bertukar informasi secara verbal dan nonverbal dengan pasien semua usia, anggota keluarga, masyarakat, kolega, dan profesi lain.
  • Area keterampilan klinis; melakukan prosedur klinis dalam menghadapi masalah kedokteran sesuai dengan kebutuhan pasien dan kewenangannya. 
  • Area landasan ilmiah ilmu kedokteran; mengidentifikasi, menjelaskan, dan merancang penyelesaian masalah kesehatan secara ilmiah menurut ilmu kedokteran-kesehatan mutakhir untuk mendapat hasil yang optimum
  • Area pengelolaan masalah kesehatan : mengelola masalah kesehatan individu, keluarga, maupun masyarakat secara komprehensif, holistik, bersinambung, koordinatif, dan kolaboratif dalam konteks pelayanan kesehatan primer.
  • Area pengelolaan informasi : mengakses, mengelola, menilai secara kritis kesahihan dan kemamputerapan informasi untuk menjelaskan dan menyelesaikan masalah, atau mengambil keputusan dalam kaitan dengan pelayanan kesehatan di tingkat primer.
  • Area mawas diri dan pengembangan diri : melakukan praktik kedokteran dengan penuh kesadaran atas kemampuan dan keterbatasannya; mengatasi masalah emosional, personal, kesehatan, dan kesejahteraan yang dapat mempengaruhi kemampuan profesinya; belajar sepanjang hayat; merencanakan, menerapkan, dan memantau perkembangan profesi secara sinambung.
  • Area etika, moral, medikolegal dan profesionalisme serta keselamatan pasien : berprilaku profesional dalam praktik kedokteran serta mendukung kebijakan kesehatan; bermoral dan beretika serta memahami isu etik maupun aspek medikolegal dalam praktik kedokteran; menerapkan program keselamatan pasien.
Kompetensi  juga  dituliskan dalam bentuk level tertentu. Untuk level kompetensi dokter di Indonesia memiliki range antara 1 sampai dengan 4. Secara sederhana, dapat kita katakan bahwa tingkat kemampuan 1 hanya mengharuskan seorang dokter untuk hanya sekedar tahu dan memahami suatu penyakit tertentu melalui tanda dan gejalanya (overview level) sedangkan pada kompetensi tingkat 4 sang dokter harus mampu menangani problem pasien secara mandiri hingga tuntas mulai dari pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, menyimpulkan suatu diagnosis hingga melakukan terapi. 

Sebagai contoh, berikut ini saya kutipkan sebuah tabel mengenai level kompetensi dokter umum dalam menangani penyakit seputar sistem pernapasan sebagai berikut:

 Pada tabel di atas, dapat kita lihat, bahwa tingkat penguasan seorang dokter umum memiliki level tersendiri, misalnya, seorang dokter umum harus mampu menangani kasus seperti:  tuberculosis (TBC) secara mandiri (level 4), tetapi ketika penyakit TBC tersebut bersamaan dengan pneumothorax (adanya udara berlebih dalam pleura/ selaput pembungkus paru) level kompetensinya berkurang menjadi level 2 yang hanya sebatas mendiagnosis dan harus segera melakukan rujukan kepada dokter spesialis yang memiliki kompetensi sesuai, dalam hal ini spesialis paru.

Walaupun sudah diciptakan suatu standar kompetensi, namun terkadang masih saja timbul masalah terkait dengan standar kompetensi dokter. Sebagai contoh, pertanyaan mulai muncul untuk dokter – dokter yang dikirim ke daerah terpencil yang minim akan sarana dan prasarana kesehatan, kita pakai contoh kasus di atas (TBC dengan pneumothorax) , kalau bertindak sesuai kompetensi saja, maka dokter hanya perlu merujuk ke spesialis paru, padahal, bayangkan saja, misalnya kondisi pasien berada di pedalaman daerah Kalimantan, di mana perlu berhari – hari untuk dapat sampai ke kota dan kesulitan transportasi yang menyertai, kalau si dokter umum yang bertugas tidak segera mengambil tindakan sendiri yang melebihi batas kompetensinya, tentu saja pasien tidak akan selamat. 

Kadang pula, kondisi yang terjadi berkebalikan, terkadang dokter umum  yang memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan pada tingkat yang lebih tinggi, malah mencoba untuk bertindak lebih dari level kompetensinya. Apa akibatnya? Hal ini menciptakan adanya suatu benturan dengan tingkat kompetensi dokter spesialis.

Belajar dari pengalaman tersebut, saya secara pribadi menilai, bahwa Standar Kompetensi Dokter Indonesia, tentu diciptakan baik adanya,namun dalam penggunaanya, jangan hanya kita telan secara mentah – mentah. Kita wajib menyesuaikan diri dengan keadaan. Menguasai lebih dari area kompentensi kita, memang lebih baik, namun perlu juga disesuaikan dengan kebutuhan. Jangan sampai menimbulkan masalah karena harus overlapping dengan kemampuan dokter spesialis.

Sumber:
  • Standar Kompetensi Dokter Konsil Kedokteran Indonesia. 2006. http://inamc.or.id/?open=pedoman
  • Tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Sisi Lain Kedokteran Universiatas Hasanuddin. http://sisilainkedokteranunhas.blogspot.com/2009/10/tentang-standar-kompetensi-dokter.html

1 komentar:

  1. nice posted, please add my link into ur blogroll N follow me ... BuzzMe too

    BalasHapus