Minggu, 07 November 2010

Disapa Merapi..


   Siapa orang Jogja yang tidak kenal dengan Gunung Merapi? Saya yakin, sekalipun anda adalah pendatang, anda pastinya tentu akan kenal dengan Gunung Merapi. Gunung Merapi cukup akrab di kalangan mahasiswa. Bagaimana tidak, berkali – kali saya mengikuti kegiatan kemahasiswaan yang diselenggarakan di Kaliurang, sebuah kawasan wisata berhawa sejuk yang terletak di lereng Merapi.

   Berita tentang aktifnya Merapi sebenarnya sudah cukup lama saya dengar. Tinggal di kawasan Jalan Kaliurang yang berjarak sekitar 25 km (versi google map) dari puncak Merapi membuat saya sedikit was – was akan pemberitaan meningkatnya aktivitas merapi, sehingga bisa dikatakan bahwa saya selalu mengikuti perkembangan Merapi.

   Awalnya, saya masih tenang – tenang saja. Aktivitas kota Yogya masih berlangsung seperti biasa, padahal waktu itu status merapi sudah bergerak menjadi Siaga. Tidak ada peringatan khusus yang beredar, kami hanya diminta untuk tetap tenang sambil memantau aktivitas lewat media. Bicara soal status gunung api, secara umum ada empat macam tingkatan status yaitu:

·         Aktif Normal
o   Kegiatan gunung api masih dalam keadaan normal, tidak ada peningkatan kegiatan baik secara visual maupun instrumental.
o   Dalam hal ini biasanya yang dilakukan hanyalah monitoring  gunung secara rutin.
·         Waspada
o   Terjadi peningkatan kegiatan yang diamati secara visual maupun instrumental (peningkatan aktivitas seismik dan kejadian vulkanis lainnya akibat aktivitas magma, tektonik, dan hidrotermal)
o   Pada tahapan ini biasanya diadakan penyuluhan/ sosialisasi, penilaian bahaya dan juga piket terbatas
·         Siaga
o   eningkatan kegiatan semakin nyata, yang teramati secara visual dan atau secara instrumental serta berdasarkan analisis perubahan kegiatan tersebut cenderung diikuti letusan/erupsi.
o   Pada keadaan ini sudah perlu diadakan penyiapan sarana darurat dan juga sosialisi di wilayah terancam serta adanya koordinasi harian dan piket penuh.
·         Awas
o   Merupakan status paling berbahaya menjelang letusan utama yang diawali letusan abu atau asap atau dalam keadaan kritis yang seaktu – waktu dapat menimbulkan bencana.
o   Pada tahapan ini wilayah yang rawan bencana harus segera dikosongkan.

   Sungguh, tidak pernah terbayangkan oleh saya sebelumnya, bahwa ternyata saya mengalami langsung bagian dari peristiwa alam ini. Semenjak status Merapi meningkat kembali menjadi Awas pada hari Senin 25 Oktober 2010, perasaan mulai berkecamuk dalam diri saya. Apalagi setelah pada hari yang sama juga turut serta menghariri briefing yang diadakan oleh seorang teman yang mewakili Perkumpulan Pelajar Malaysia di Indonesia, saya semakin khawatir jadinya. Hal itu pula yang membuat saya mempersiapkan sebuah Bag Kecemasan atau Emergency Bag yang berisi barang – barang penting yang bisa langsung saya bawa lari seumpama bencana itu benar terjadi. Bahkan,mobil yang biasanya saya parkir maju, mulai saya parkir atret, sehingga memudahkan saya untuk lebih cepat dalam melarikan diri.

   Ada dua hal yang mengkawatirkan saya kalau merapi meletus, kalau untuk lava dan aliran magma, saya jujur tidak kawatir, karena posisi saya yang cukup jauh dari merapi, tapi yang lebih saya takutkan adalah adanya awan panas dan gempa. Terbayang akan panasnya “wedhus gembel” yang konon mencapai 600 derajat celcius yang meluncur dengan kecepatan 100 km/ jam  yang mampu membumihanguskan daerah yang dilewatinya dan bagaimana hebatnya gempa Bantul tahun 2006 yang mampu meratakan bangunan kokoh sekalipun.

    Sehari setelahnya, Selasa, 26 Oktober 2010 merapi meletus. Saya tidak merasakan apa – apa. Bahkan dengan tenangnya pada waktu merapi meletus, saya masih makan nasi liwet di pinggir ringroad utara. Sebenarnya saya merasa cukup lega, karena ternyata letusan merapi tidak begitu membawa dampak bagi daerah sekitarnya. Dan saya juga berharap semoga tidak ada lagi letusan baru yang mengikuti setelahnya. Hal itu membuat saya dan teman – teman pada hari Rabu 27 Oktober malam tergerak untuk menghadiri rapat koordinasi bersama tim SAR dan Merapi Combine sebagai tim relawan. Namun, pada hari Kamis 28 Oktober, Tuhan berkehendak lain, saya harus kembali ke Semarang karena eyang kakung saya meninggal.

   Jumat 29 Oktober, saya kembali lagi ke Jogja untuk mengurus ijin, menghadiri praktikum, dan juga mendaftar ujian remidi. Merapi tampak biasa – biasa saja. Baru pada tanggal 30 oktober dini hari, turunlah hujan abu. Saya sungguh sangat terkejut, apalagi setelah menyadari bahwa hujan abu ini mengandung komponen sulfur yang baunya cukup menyengat hidung. Untunglah, saya masih punya cadangan masker di kost. Pada hari yang sama pula saya memutuskan untuk pulang ke Semarang.

    Saya kembali lagi ke Jogja pada hari minggunya (31 Oktober 2010) dan mendapati bahwa Jogja masih diselimuti abu. Waktu itu belum turun hujan di daerah saya, sehingga sungguh terasa betapa kotornya udara Jogja kala itu. Kalangan media juga mulai gempar – gemparnya memberitakan merapi, sampai teman – teman saya yang berada di luar Jogja mulai sms menanyakan keadaan saya. Selama beberapa hari kemudian, Jogja diguyur hujan. Hal yang sangat saya syukuri. Pasalnya, air hujan ini juga membantu menyapu abu vulkanik yang ada di mana – mana dan juga membersihkan udara Jogja. 


   Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain, Jumat 5 November 2010, dini hari sekitar pukul 01.00 WIB terjadi letusan besar. Waktu itu saya masih belum tidur, karena masih asik berkutat menulis blog saya sebelumnya, sayapun tidak menyadari bahwa merapi meletus. Saya memang mendengar suara gemuruh, tapi saya pikir itu suara ‘gludug’ karena waktu itu memang habis hujan, ternyata itu adalah suara gemuruh letusan Merapi.  Ya Tuhan, langsung saja saya menyalakan televisi, dan benar saja beberapa channel bahkan melangsungkan live report dari perempatan kentungan yang hanya berjarak 300 meter dari kost saya. Pada saat itu dikabarkan bahwa akses menuju merapi mulai dari perempatan kentungan – ringroad telah ditutup. Hujan abu juga kembali turun, bahkan kali ini jauh lebih parah, partikel abunya semakin besar dan berat,bau belerangnya juga lebih menyengat (sampai di dalam kostpun saya terpaksa menggunakan masker).
 
    Ditambah lagi,  adanya pemberitaan bahwa zona bahaya semakin diperluas. Dari yang semula zona bahaya hanya radius 10 KM, diperluas menjadi 15 KM, dan sampai akhirnya menjadi 20KM, ya hanya 5 KM lagi dari tempat saya.

   Hal itu pula yang membuat saya dan teman – teman mengungsi meninggalkan Jogja. Saya meninggalkan Jogja pada Jumat pagi nya, itupun harus memutar lewat Solo, karena kawasan Muntilan – Magelang sudah ditutup.  Kegiatan perkuliahan juga dihentikan selama 1 minggu. Berarti dampak Merapi kali ini cukup mengkawatirkan adanya. Sekarang saya di Semarang, namun tetap saja was – was akan merapi. Sampai blog ini ditulis, ada sekitar 102 orang yang telah menjadi korban meninggal dunia, puluhan ribu orang masih menjadi pengungsi.

    Oya, terkait dengan blog saya sebelumnya, tentang pihak – pihak tanggap bencana, ternyata pada tanggal 5 November kemarin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memberikan lima instruksi tanggap darurat Merapi sebagai berikut:

  • Kendali operasi tanggap darurat penanggulangan bencana Gunung Merapi berada di tangan Kepala Badan Nasional Penanggulanangan Bencana:  Syamsul Ma’arif.
  • menugaskan Menko Kesra Agung Laksono untuk memastikan bahwa bantuan dari pemerintah pusat, dalam bentuk apapun, dilaksanakan secara cepat, tepat, dan terkoordinasi dengan baik.
  • Ketiga, menginstruksikan TNI melakukan persiapan, mengerahkan, dan menugaskan satu brigade plus untuk penanggulangan bencana. TNI juga akan memobilisasi, mengerahkan angkutan atau kendaraan untuk mobilitas pergerakan masyarakat dari satu tempat ke tempat yang lain.
  • Keempat, menginstruksikan Polri untuk mengerahkan dan menugaskan satuan tugas kepolisisan untuk penanggulangan bencana, dengan titik berat membantu lalu lintas karena banyak sekali pergerakan manusia, kendaraan, sehingga menimbulkan kekacauan lalu lintas dan juga pengamanan kepada masyarakat.
  • Kelima, pemerintah akan membeli sapi dan ternak-ternak lain milik warga dengan harga yang pantas. Diharapkan keputusan ini membuat warga tidak enggan lagi untuk mengungsi dan dievakuasi.
Pengalaman disapa Merapi ini sungguh akan menjadi pengalaman yang tidak terlupakan bagi saya dan juga penghuni Jogja. Semoga Merapi cepat mereda. Jangan sampai ada korban lagi. Semoga dengan peristiwa ini pula kita semakin diingatkan untuk senantiasa dekat denganNya. Juga untuk bencana Mentawai dan Wasior, semoga semuanya dapat dilalui dengan baik. Amin. Lets pray for Indonesia!

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar