Selasa, 23 November 2010

Dokter Juga Bisa Jadi Detektif


Masih ingatkah anda akan kejadian Bom Bali pada 12 Oktober 2002 lalu? Aksi terorisme tersebut sungguh sempat mengguncang bangsa Indonesia, bahkan sempat melumpuhkan pariwisata Bali selama beberapa waktu. Peristiwa Bom Bali bahkan disebut – disebut sebagai peristiwa terorisme terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Bagaimana tidak? Bom Bali telah merenggut nyawa 202 orang, melukai 300 orang, merusak 47 bangunan di sekitarnya, bahkan suara dan getaran ledakannya masih dapat terasa hingga belasan kilometer dari lokasi kejadian. Tidaklah heran bahwa semua korban meninggal ditemukan dalam keadaan mengenaskan dan sangat sulit untuk dikenali.

Lalu bagaimana cara mengenali korban kembali? Jalan satu – satunya untuk mengenali korban adalah dengan melakukan identifikasi yang dilakukan oleh Tim Kedokteran Forensik yang disebut sebagai Disaster Victim Identification (DVI).


Disaster Victim Identification (DVI) didefinisikan sebagai suatu prosedur yang telah ditentukan untuk mengidentifikasi korban meninggal dunia dalam sebuah insiden atau bencana masal berdasarkan protokol Interpol.  DVI diperlukan karena pada banyak kasus identifikasi secara visual tidak dapat diterapkan karena kondisi korban yang telah rusak dan tidak mungkin lagi dikenali. Oleh karena itu, DVI ini merupakan prosedur yang sah yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Selain itu, DVI ini juga diperlukan untuk proses identifikasi secara positif sehingga kepentingan hukum yang menyangkut kematian seseorang dapat terselesaikan, misalnya yang menyangkut kepentingan Civil Legal Aspect.

Secara sederhana, untuk mengenali seseorang dapat kita lihat melalui ciri fisiknya. Misalnya saja melalui warna kulit, tinggi badan, berat badan, perawakan, rambut, atau bahkan dari aksesoris yang sering mereka gunakan.  Akan tetapi ketika kondisi korban meninggal telah hancur atau terdekomposisi, maka mengenali korban dengan cara seperti itu sangatlah sulit, atau bahkan tidak lagi memungkinkan.

Oleh karena itu, dasar identifikasi yang dipilih harus lebih kuat. Ada dua macam dasar identifikasi. Yaitu  Primary identifiers dan Secondary Identifiers. Primary Identifiers merupakan dasar identifikasi yang paling utama yang meliputi tiga hal: pemeriksaan sidik jari, pemeriksaan DNA, dan pemeriksaan gigi. Sedangkan secondary identifiers dapat dikatakan sebagai dasar identifikasi penunjang yang menguatkan primary identifiers seperti misalnya barang – barang atau aksesoris yang masih melekat di tubuh korban.


Pada prinsipnya, prosedur Disaster Victim Identification dilakukan dengan membandingkan antara data Ante Mortem (Sebelum kematian) dan Data Post Mortem (sesudah kematian). Semakin banyak kecocokan antara Ante Mortem dan Post Mortem data, berarti semakin besar pula tingkat kecocokannya.

Kebetulan, siang tadi saya mengikuti praktikum tentang Forensic and Medicolegal Death Victim Identification in Mass Disaster. Dalam praktikum tadi, grup kami disodori oleh 4 data antemortem dan 4 data post mortem. Tugas kami adalah memasangkan data ante mortem dan post mortem tersebut. Ternyata, tidak mudah dalam mengidentifikasi korban, harus diperlukan beberapa langkah- langkah identifikasi yang meliputi beberapa aspek sebagai berikut:
  • Mengumpulkan informasi dari tempat terjadinya insiden. Contohnya, dalam kasus Bom Bali, pihak kepolisian harus mengamankan tempat kejadian perkara dengan police line, sehingga didapatkan informasi yang akurat.
  • Mengumpulkan post mortem data. Hal ini dapat dilakukan dengan mengambil gambar TKP, melakukan test DNA, sidik jari, pemeriksaan gigi.

o   Test DNA : merupakan test dalam kategori primer dengan mencocokkan DNA korban dengan DNA orang tuanya. Test DNA ada yang kromosomal (diturunkan dari ayah dan ibu) dan ada pula yang bersifat mitochondrial (hanya diturunkan dari ibu kepada anak perempuannya)
o   Pemeriksaan sidik jari: sidik jari orang selalu spesifik dan berbeda antara suatu individu dengan individu lainnya.
o   Pemeriksaan gigi: Pemeriksaan ini dilakukan oleh dokter gigi (forensik odontology) dengan membandingkan kondisi gigi postmortem dengan dental recordnya.Mengumpulkan ante mortem data. Ante mortem data biasanya didapat dari catatan rekam medis pasien
  • Mengumpulkan antemortem data, biasanya didapat dari catatan rekam medis maupun keterangan dari pihak keluarga     
  • Membandingkan post mortem dan antemoertem data untuk dilihat apakah ada kesamaan yang semakin mendukung investigasi
  • Pengembalian jenazah ke pihak keluarga atau dikuburkan secara masal.


Sayapun menyadari bahwa ternyata tidaklah mudah membandingkan data ante dan post mortem. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya korban bencana tersebut banyak jumlahnya, pastilah sangat sulit untuk dapat mencocokkan/ mengidentifikasi korban. Apalagi, apabila data ante mortem yang berhasi dikumpulkan tidak lengkap.

Beberapa kendala yang mempersulit identifikasi korban bencana antara lain:
  •          Jumlah korban banyak dan kondisinya buruk
  •          Lokasi kejadian yang sulit dijangkau
  •          Membutuhkan sumber daya pelaksanaan dan dana yang cukup besar
  •          Bersifat lintas sektoral sehingga diperlukan koordinasi yang kuat dan baik.

Akan tetapi, justru di sinilah profesi dokter ditantang, khusunya bagi kedokteran forensik. Seorang dokter ditantang untuk menjadi seorang “detektif” yang melakukan penyelidikan untuk mengidentifikasi korban dengan segala keterbatasan petunjuk yang dimiliki. Nah, jadi, seorang dokter dapat pula berperan sebagai seorang detektif bukan?

“Dari 202 orang, 200 orang berhasil teridentifikasi (99%) dan sebanyak 113 orang atau 56.6% dari 202 korban meninggal dunia pada kasus bom Bali 2002 berhasil diidentifikasi melalui gigi”

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar