Senin, 01 November 2010

Instant is Insane..


Instant is insane. Instant itu gila. Sebelumnya maaf. Maaf kalau judul posting saya ini terlalu fontral. Baiklah, di sini saya ingin mengkritisi mengenai sistem pendidikan, khususnya mengenai pendidikan bagi seorang calon dokter dan dokter. Ketika kata pendidikan disebut, kebanyakan orang, termasuk saya dan mungkin juga anda, akan mengacu kepada sebuah lembaga formal yang  beraturan, berseragam, berkurikulum, berbiaya, berijazah, bersertifikat, berakreditasi, dan juga “ber-ber” lainnya. Oke, satu kata yang ingin saya garis bawahi disini adalah kata formal. Kebanyakan orang akan puas setelah menyelesaikan suatu pendidikan secara formal, misalnya seseorang bangga akan gelar kesarjanaanya. Tidaklah salah, itu boleh – boleh saja, monggo, itu hak. Namun, kebanyakan orang  lantas menarik kesimpulan sendiri bahwa dirinya telah menamatkan pendidikan. Tamat.

Lalu bagaimana bila hal ini terjadi pada seorang dokter atau calon dokter ? Baiklah, saya mau berandai – andai. Saat ini saya adalah mahasiswa semester 7, semester akhir, setelah saya diwisuda, saya akan mendapat gelar kesarjanaan sebagai Sarjana Kedokteran (S.Ked). Bangga? Jelas bukan kepalang, saya sudah jadi sarjana! Siapa yang tidak bangga? Tapi.. cukupkah? Tentu saja belum, karena title seorang dokter belum tersandang di depan nama saya.

Teringat kembali, sebuah pertanyaan menggelitik yang terlontar dari kerabat yang masih saja menari – nari riang di kepala saya. “Mbak Winda kok mau sih jadi dokter? Sekolahnya lama lho, nanti sekolah terus, lha kapan nikahnya?” biasanya saya hanya balas menjawab dengan senyum. Lambat laun, saya mulai menyadari bahwa itulah profesi saya nantinya. Sebuah profesi yang menuntut kesempurnaan (walau pada praktiknya  hal itu sangatlah sulit terwujud) atau setidaknya mendekati sempurna. Seorang dokter dituntut untuk tidak boleh melakukan kesalahan, sekecil apapun itu. Ya wajar saja, lha wong yang dihadapi adalah nyawa manusia. Maka tidaklah heran, bahwa seorang dokter sampai saat ini masih dianggap sebagai sebuah status sosial yang tinggi dan terpandang. Menarik bukan? Ayo siapa lagi yang mau jadi dokter?

Akan tetapi, saya mencoba untuk menilik dari sudut pandang lain. Sebagai seorang mahasiswa kedokteran, seringkali saya berpikir, bahwa ternyata memilih menjadi seorang dokter adalah kebanggaan yang menjadi beban. Sungguh. Saat ini saya sedang merasakannya, mungkin juga teman – teman lain.
Kenapa menjadi beban? Bukan semata – mata karena sekolahnya berat, biaya mahal, atau karena bahan yang dipelajari juga seabrek – abrek, namun yang lebih penting dari itu adalah ketakutan untuk berbuat kesalahan. Wajar kan? Bagaimana kalau misalnya pasien yang saya beri obat tiba – tiba meninggal, lalu keluarga menuntut saya, membawa saya ke pengadilan, menuntut kerugian materiil dan non materiil; habislah saya. Tamat.

Karena itu, pendidikan memegang peranan yang amat sangat penting sekali. Memilih sebuah profesi berarti menikahi profesi tersebut. Iya, menikah. Mengapa saya berani bilang begitu? Karena memilih sebuah profesi harus berlandaskan cinta, komitmen, kesetiaan baik dalam suka dan duka, dan pengorbanan. Nah, mirip dengan ikatan pernikahan bukan?



Di dalam dunia kedokteran, tidak ada istilah instant untuk pendidikan. Semua butuh proses yang tidak sebentar, lama, lama sekali, atau bahkan harus seumur hidup. Sebagai contoh, menyandang gelar S.Ked, tentulah tidak cukup, saya masih harus menempuh pendidikan profesi selama 2  tahun lagi untuk menjadi dokter umum. Setelah menjadi dokter umum, saya pun merasa belum puas, lalu berencana untuk mengambil spesialis yang bervariasi lamanya antara 7 sampai 10 semester. Lepas dari itu, mungkin seiring dengan tuntutan jaman, saya juga ingin mengambil program master, atau bahkan postdoctoral program. Waow. Entah sampai umur berapa nantinya saya terus sekolah. Yang saya ceritakan barusan itu baru dilihat dari sisi pendidikan formalnya saja.

Selain pendidikan formal tersebut, masih ada juga pendidikan non formal yang akan saya dapatkan, cari atau bahkan saya kejar nantinya. Mengapa? Ya karena pendidikan non formal itu juga penting. Sebagai contoh, berhadapan langsung dengan pasien adalah bagian dari pendidikan non formal, saya berlatih untuk berkomunikasi, menggali informasi, melatih skills saya dalam menangani, menganalisa, memanajemen, dan mentreatment sebuah kasus. Sebagai contoh, saya pernah berbincang dengan ibu saya, yang notabene adalah orang jawa, yang masih kental dengan obat – obatan tradisional. Ibu saya memiliki penyakit kencing manis. Ketika saya pulang ke rumah, saya mendapati beliau sedang meminum sebuah air rebusan berwarna hijau bening. Spontan sayapun bertanya akan apa yang ibu saya minum. dengan santainya ibu saya menjawab, bahwa ini adalah air rebusan daun tapak dara yang kata (alm) nenek saya dapat menormalkan kadar gula darah. Saya tau daun tapak dara itu seperti apa karena memang tanaman itu tumbuh di pekarangan rumah saya. Bahkan, beliaupun dengan mantap menambahkan, kalau mau merebus, harus tujuh helai daun, kemudian campurkan dalam panci yang berisi tiga gelas air, rebus sampai airnya asat (menguap) sampai jadi satu gelas air. Oke, adakah ilmu kedokteran yang menjelaskan hal tersebut? Saya belum sempat cari, tapi saya akui bahwa ada cabang ilmu kedokteran yang disebut ilmu kedokteran herbal yang mempelajari hal tersebut. Lalu bagaimana dengan dosisnya? Ternyata, seorang awam kesehatan seperti ibu saya pun hapal betul bagaimana cara membuat jamunya. Dan saya pun masih geleng – geleng kepala, bagaimana bisa tujuh helai daun tapak dara menggantikan fungsi Metformin 250 gram sebagai pengontrol gula darah. Contoh lain adalah air perasan jeruk nipis campur kecap manis yang bisa menggantikan peranan obat batuk. Ya, memang menyisakan tanya. Suatu saat nanti saya cari jawabnya.

Nah, hal tersebutlah diatas contoh kecil dalam hidup sehari – hari mengenai pendidikan non formal. Penting bukan? karena itulah, saya tegaskan disini, kalau mau jadi dokter, berarti anda harus siap – siap untuk menjadi long life learner, terbuka terhadap pembaruan jaman, menerima masukan, siap sedia belajar dari mana – mana. Itu adalah komitmen. Dan saya sudah menikah dengan profesi ini, setidaknya sejak tahun 2007 lalu, saat pertama kali kaki saya menginjak di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

Jadi apa kesimpulannya?  Di dunia kedokteran: instant is insane. Instant itu gila. Ya karena segala sesuatu itu terus berkembang dan berkembang, maka, kita harus tetap belajar dan belajar. Yah well, just enjoy! :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar